Bismillahirrahmanirrahim.
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Pagi Cerise masih bersinar seperti biasanya. Kelam yang semula menghiasi langit malam telah beranjak menjadi cerah menghangatkan. Seiring waktu berganti, kesakitan itu juga perlahan membaik. Perasaannya meringan bersama dada yang menenang.
Gadis itu kembali menyambut hari dengan senyum mengembang. Seakan luka yang dirinya terima hanya ilusi semata. Padahal di bahunya, luka itu belum mengering bahkan bertambah parah. Namun, hebatnya rasa sakit itu tidak ia pedulikan. Cerise tetap tergelak riang di depan orang-orang. Dengan begitu saja muncul sebuah pertanyaan. Tentang seberapa banyak isi dari kotak tertawa yang gadis itu miliki. Mengapa seperti tak ada habisnya?
Cerise Dianes tidak pernah menyalahkan Tuhan atas takdir yang dirinya terima. Ia tidak pernah mengeluh karena terlahir di dalam keluarga yang telah hancur dan rapuh. Karena baginya, di antara gores takdir yang terasa melukai, Cerise masih bersyukur karena hingga ia beranjak remaja, Tuhan terus memberi kesempatan agar bisa hidup bersama Papa—hal yang mampu membuatnya selalu merasa tetap baik-baik saja. Meski kenyataannya, justru luka itu dirinya dapati dari Papa.
"Cerise! Lo udah membaik?" Tahu-tahu Leni sudah berada di samping Cerise. Gadis itu baru saja tiba di kelas. "Kemarin lo kenapa maksain diri buat sekolah, sih? Tepar, kan, jadinya. Pake acara pingsan segala di koridor. Untung banget ada si Azure yang nolongin."
Cerise menanggapinya dengan tertawa kecil. Ia melirik sekilas hanya untuk kembali fokus menulis materi kemarin yang tertinggal. Hari ini gadis itu menggunakan rok abu sebatas lutut, kemeja batik lengan pendek, dipadukan dengan jaket berwarna cokelat.
"Tapi, Cer, gue seneng kalau sekarang lo udah membaik," katanya sambil merangkul bahu Cerise. Detik berganti, Leni tertegun kala Cerise bergerak menjauh setelah menepis tangannya. Kemudian usai itu, terdengar ringisan kecil. "Lo kenapa?"
"Bahu aku lagi panuan. Kamu enggak boleh sentuh, takut nanti malah nular. Mau emang?" tanya Cerise diiringi kekehan kecil.
"Serius? Lo enggak lagi tutupin apa pun dari gue, kan, Cerise?" tanya Leni dengan tatapan menyelidik. Ia melihat jelas bagaimana raut Cerise berubah seakan kesakitan. "Jangan sembunyiin apa pun dari gue, Cer. Kalau lo ada apa-apa, gue siap jadi tempat buat lo bersandar."
Tidak ada kalimat apa pun setelahnya. Suasana mendadak tenang, hanya gaduh dari kursi yang ditarik oleh orang-orang yang baru datang. Tiba-tiba saja hati Cerise kian meringan. Cerise senang karena di dunia ini, ia tidak sendirian. Ada seorang sahabat yang selalu membuka lebar kedua tangan untuk menyambut peluknya. Ada sahabat yang bersedia menjadi rumah kedua untuknya.
Namun meski demikian, Cerise tentu tidak akan membiarkan orang-orang tahu tentang kesakitannya. Ia akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap berpura-pura baik-baik saja. Sebab luka dan dunianya adalah rahasia. Cerise tak mau melibatkan orang lain di dalamnya. Ia tak ingin mereka ikut terluka. Maka dengan begitu saja, netra Cerise memanas.
Ia maju satu langkah, lalu memeluk Leni.
"Terima kasih, ya, tapi kamu enggak perlu khawatir. Aku bakalan tetap baik-baik aja, sampai kapan pun. Aku bakalan tetap jadi Cerise yang ceria."
Dekap itu terasa hangat kala Leni membalas pelukan. Dalam hitungan menit, mereka mempertahankan posisi. Sampai kemudian pelukan itu terurai kala teriakan dari seseorang menyentak keduanya.
"Wah, Leni sama Cerise ada main ternyata!"
Leni jelas tak terima mendengar itu. Ia menatap nyalang pada orang yang baru saja berteriak di depan kelas. Kemudian sekonyong-konyong gadis itu berlari mengejar orang itu—Angga—yang masih terus mengejeknya.