Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Azure memang tidak akan pernah bisa menerima siapa pun yang berniat mengganti posisi ibunya. Ia juga tak akan pernah mau mengubah rasa benci yang tertanam dalam benak kala seseorang dengan lancang hadir dan menempati posisi belahan jiwanya—Ibu—pada bangunan megah, tetapi penuh keretakan, yang disebut sebagai rumah.
Namun, meski seperti itu, Azure masih bisa berperilaku cukup baik dengan menghargai kerja keras Anita untuk menyajikan makan malam hari ini. Kemudian, di antara bunyi sendok yang beradu dengan piring kaca, laki-laki itu memakan makanannya tanpa berniat mengikuti percakapan antara Papa dan Anita.
Iya, karena Azure masih enggan untuk ikut andil dalam perbincangan memuakkan mereka. Pembicaraan yang hanya berkisar mengenai pekerjaan, atau rencana-rencana indah-bagi mereka-untuk masa depan Azure. Bahkan mereka dengan lancang merancang masa depan Azure sebegitu apik tanpa pernah bertanya, apakah ia setuju dengan pemikiran itu.
"Gimana tadi di sekolah, Azure? Semua berjalan dengan baik, kan?"
Maka setelah mereka duduk di ruang makan selama hampir dua puluh menit, ini kali pertama Papa mengajaknya berbicara. Azure melirik sekilas hanya untuk kembali fokus dengan makanannya. Benar-benar tidak berniat menjawab pertanyaan Papa meski sekadar gumaman.
Kemudian setelah itu, terdengar decakan kesal dari Papa. Pria paruh baya yang telah menginjak kepala empat itu mudah sekali terbawa emosi, padahal Azure hanya tidak merespon ucapan. Iya, setidaknya bagi Azure, hal itu memang amat spele.
"Kalau orang tua lagi nanya itu jawab. Mulut kamu, selain berfungsi buat makan, juga buat ngomong," sambung Papa dengan nada geram.
Mau tidak mau, Azure mendongak, lalu irisnya bertemu dengan manik hitam Papa. Sesaat, ia bisa melihat lelah dari cara Papa menatap meski tertutupi oleh kesal akibat ulahnya. Azure menghela napas pelan sebelum akhirnya melontarkan satu kalimat bernada rendah.
"Azure enggak pernah merasa ada yang berjalan dengan baik setelah Mama pergi, Pa."
Papa membuka mulut, hendak mengucapkan suatu hal, tetapi detik berikutnya ia kembali mengatupkan bibir. Lidahnya terlalu kelu jika telah menyangkut perihal kepergian Nisrina-istri terdahulu. Ia tidak tahu harus menggunakan cara apa lagi agar Azure paham, tentang kehilangan adalah sesuatu yang tidak dapat dicegah. Sesuatu yang pada akhirnya hanya tentang mengikhlaskan. Hanya tentang berdamai dengan keadaan agar mampu menata hidup yang sempat berantakan.
Karena sejatinya, cara itu pula yang mampu membuatnya bangkit, meski tidak bisa benar-benar membuat luka itu terbalut, dan pulih. Sebab satu hal yang Papa sadari, kepergian Nisrina telah membawa pergi separuh dari jiwanya. Dan seharusnya Azure mengerti, bahwa di sini bukan hanya ia yang terluka, tetapi juga Papa.
Maka setelah terjeda cukup lama, Papa meneguk air minum di dalam gelas hingga isinya tandas. Laki-laki itu berdeham, lalu kembali memulai percakapan. Sebuah kalimat yang mampu menghentikan kunyahan Azure.
"Kamu satu kelompok sama Cerise, kan? Si anak yang tahun kemarin dapat juara satu," ujar Papa.
Azure menyimpan sendok yang digenggam. "Papa tahu dari mana?"
"Karena kemarin malam, Papa sengaja hubungi Ibu Ratna biar kamu satu kelompok sama Cerise."
Nada dari kalimat yang Papa ucapkan terlampau tenang. Berbanding terbalik dengan gemuruh yang mengentak dada Azure. Degup jantungnya bertalu terlalu kuat hingga mampu menimbulkan sesak. Azure benar-benar tidak percaya dengan apa yang papanya katakan.
"Maksud Papa apa lakuin hal kayak gini?" Kali ini Azure membalas dengan nada tinggi. Amarahnya tidak dapat lagi disembunyikan. Ia merasa saat ini Papa benar-benar keterlaluan.