Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Azure baru keluar dari ruang pertemuan setelah mendapat informasi jika ia dan Cerise menjadi salah satu siswa yang diutus sebagai perwakilan sekolah. Azure senang, tetapi entah mengapa ia merasa seperti ada yang kurang. Kehampaan di dalam hatinya tampak nyata. Apa mungkin ini semua karena Cerise tak ada?
Karena selepas pertemuan dua hari yang lalu, Azure belum lagi melihat batang hidung gadis itu, atau setiap bimbingan olimpiade, kursi yang seharusnya ditempati oleh Cerise juga kosong. Berkali-kali Ibu Ratna memanggil namanya lewat pengeras suara, tetapi yang ia terima adalah kabar jika Cerise tak datang ke sekolah.
Langkah Azure terhenti di depan kelas Cerise. Ia terdiam sejenak dengan pandangan yang mengedar. Menatap setiap penjuru kelas lalu kembali melangkah dan menghampiri Leni yang tengah duduk sembari memakan camilan.
"Cerise ke mana?"
Leni menoleh sejenak hanya untuk kembali fokus pada kegiatannya. "Enggak ada. Dia enggak sekolah dua hari. Gue sendiri heran, deh. Apa dia enggak bisa gunain ponsel sampai buat ngabarin aja susah?"
"Oke."
Leni hanya berdecak untuk menanggapi ucapan Azure. Gadis itu kembali menoleh lalu kedua mata mereka bertemu. Leni mengamati dalam diam sebelum bibirnya bergerak dan mengucapkan suatu hal.
"Lo khawatir, ya? Sama, gue juga. Enggak biasanya Cerise bolos sekolah."
Yang Azure harapkan bukan jawaban seperti itu. Ia ingin mendengar kalimat penenang atas segala resah yang kembali hadir dan mengikat hatinya. Namun, jika teman dekat Cerise saja tidak tahu, lantas ia harus bertanya lagi pada siapa? Mungkin, jika kondisinya adalah Azure yang tak pernah mendengar suara ribut dan melihat bagaimana punggung ringkih Cerise berdarah, ia tak akan seperti ini.
Ia justru akan bahagia. Sebab dengan begitu, Azure bisa meraih posisi pertama dan membuktikan bahwa ia mampu lebih unggul dibanding siapa pun. Hal itu bisa membuat Papa berhenti menekan dan membandingkannya, bukan? Sayang, semesta memberi jalan berbeda.
"Lo enggak tahu, kan, kalau kemarin punggung dia luka dan berdarah?" tanya Azure. Salah satu alisnya terangkat. Bibir laki-laki itu menyunggingkan senyum sinis kala melihat Leni yang tersentak. "Lo itu sahabat macam apa yang enggak tahu kondisi dari sahabatnya sendiri?"
Detik itu, kotak kenangan Leni seakan dibuka lalu isinya berhamburan. Kalimat-kalimat Cerise dua hari yang lalu berputar di kepalanya. Leni mengerjap. Selaras dengan itu, ia merasa tikaman kuat di hati. Ia menatap Azure tak percaya. Leni ingin laki-laki itu mengatakan jika ucapannya hanya bualan semata. Namun, yang ia temukan adalah kejujuran dari sepasang mata tajam Magenta Azure.
"Bahu aku lagi panuan. Kamu enggak boleh sentuh, takut nanti malah nular. Mau emang?"
Seharusnya saat itu Leni mendesak agar Cerise mau bercerita. Gadis itu jelas kesakitan ketika tangan Leni mendarat di punggungnya. Dan sekarang, Leni baru mendengar fakta sebenarnya dari seseorang yang bahkan tak pernah terlihat dekat dengan Cerise.
"Bahkan ketika lo tahu sahabat lo enggak masuk sekolah selama tiga hari, lo enggak berniat buat cek langsung ke rumahnya?" Azure hampir tertawa jika saja suara Leni tak terdengar dan mampu membungkamnya.
"Cerise enggak pernah izinin gue buat ke rumahnya. Bahkan setelah dua tahun sahabatan, gue enggak pernah tahu dia tinggal di mana. Dia juga enggak pernah nunjukin kesakitan di depan gue. Dia bener-bener selalu tampil ceria. Sampai kadang gue mikir, dia ini pernah ngerasa luka enggak, sih?"
Ternyata, apa yang Azure selalu pertanyakan adalah hal yang membuat Leni juga heran. Azure menenggelamkan jari-jari tangan di saku celana. Ia membuang napas keras. Laki-laki itu diam, tetapi dalam diamnya, ia tak henti merutuki seorang Cerise Dianes.