Prolog

66 10 11
                                    

Selamat membaca!
Semoga kamu menemukan kenyamanan pada cerita ini.

***

Dulu, laki-laki dengan kaos putih kebesaran dan celana pendek selutut itu pernah mengajukan tanya pada seorang wanita dan pria yang berstatus sebagai orang tuanya. Sebuah kalimat yang mungkin menjadi tanya setiap anak seusianya. Kalimat tanya sederhana, sesederhana membalikkan telapak tangan.

"Arti nama aku itu apa, sih?"

Ada jeda cukup panjang setelah kalimatnya tertuang. Mama yang duduk di depan bocah laki-laki itu tersenyum hingga mata. Sebuah senyum yang berhasil membuat dadanya menghangat. Kadang, ketika merasa dunia tengah tidak baik-baik saja, lengkungan bibir Mama selalu berhasil meredakan segala risau yang perlahan menjelma menjadi tangan-tangan mencengkram kepalanya.

"Azure itu biru langit. Mama sengaja memberi kamu nama itu karena dari beberapa warna milik langit, biru adalah yang paling Mama sukai. Harapan Mama dan Papa sederhana, semoga kelak kamu akan selalu berwarna, bahagia. Semoga orang-orang bisa merasa senang ketika kamu hadir, selayaknya saat melihat langit yang semula kelam berubah menjadi biru terang."

Bocah laki-laki itu tidak menimpali ucapan Mama. Ia diam, tetapi dalam diam itu, hatinya perlahan berbisik mengaminkan harapan indah kedua orang tuanya. Detik berikutnya, suasana lengang dan mereka kembali sibuk menghabiskan sarapan di penghujung minggu itu.

Jika waktu bisa diulang, ia ingin kembali pada hari di mana kedua netranya masih bisa menangkap kehadiran Mama. Ia ingin kembali pada masa di mana kedua tangan ringkihnya masih bisa leluasa memeluk pinggang ramping Mama. Dan andai ia tahu bahwa hari di mana sebuah tanya tentang arti nama adalah kesempatan terakhirnya berbincang dengan Mama, tentu ia akan memilih tinggal lebih lama dan menghabiskan waktu bersama.

Sayangnya, semesta melakukan segalanya tanpa memberi peringatan terlebih dahulu. Tanpa bertanya apakah ia siap menerima takdir yang terasa begitu mencekiknya setelah Mama tiada. Karena nyatanya hingga sepuluh tahun berlalu, Azure tidak pernah siap. Harapan Mama dan Papa tentang Azure yang selalu berwarna pada akhirnya tak akan bisa terwujud.

Karena kini, Magenta Azure menjelma menjadi kelam yang penuh kehampaan. Ada ruang kosong di dada. Sebanyak apa pun ia mencoba untuk mencari isi pengganti, nyatanya kehadiran Mama tidak akan pernah bisa ia temukan kembali. Maka kini, Azure biarkan ruang kosong itu tetap terbuka dan kehampaan menjadi teman setia.

***

Alhamdulillah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alhamdulillah.
Terima kasih sudah baca.
Sukses selalu, orang hebat.

Salam hangat,

Sugi ✨✨

REDA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang