Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Langit di atas sana telah sempurna menghitam. Udara semakin malam terasa kian menyejukkan. Namun, Azure masih tetap mempertahankan posisinya. Duduk di atas jok motor sembari menatap hampa cakrawala tanpa bintang. Sementara tangan kanannya, menggenggam erat botol minum yang dibelinya di warung depan.
Isinya hampir tandas, tetapi rasa haus di tenggorokan seakan tidak ikut hilang. Azure kehausan bahkan ketika dua botol minum dengan volume lima ratus mililiter telah diteguk sampai habis. Laki-laki itu bingung. Entah ini rasa haus karena memang perlu minum, atau justru rasa haus akan kasih sayang dari seseorang yang telah tiada?
Jika jawabannya adalah opsi kedua, maka Azure selamanya akan tetap kehausan. Tidak peduli sebanyak apa pun ia minum, karena penawar sebenarnya sudah tidak bisa dirinya temukan. Kecuali, laki-laki itu ikut berpulang dengan Mama. Azure mendesah kecewa dan lagi-lagi sorot matanya semakin hampa.
"Mas, parkir motornya jangan di sini. Ini lapak saya jualan."
Terguran halus yang syarat akan kesungkanan berhasil menyentak Azure dalam keterpakuan. Ia mengangguk paham lalu menduduki jok motor dan mulai menyalakan mesinnya. Sekali lagi, ia mengangguk singkat sebagai isyarat pamit pada bapak pedagang kaki lima.
Kemudian, pedal gasnya ia tarik. Kendaraan roda dua keluaran terbaru itu melesat, membelah jalanan yang kian lengang. Mungkin karena hari semakin beranjak malam, orang-orang lebih memilih beristirahat selepas seharian bekerja keras.
Azure juga ingin pulang, tetapi tempat pulang paling nyamannya telah lama hilang. Jadi, karena tidak ada lagi pilihan, Azure memutuskan kembali pada rumah megah penuh keretakan. Semakin dewasa, Azure menjadi paham bahwa sekokoh dan seindah apa pun bangunan jika di dalamnya tak ada lagi kenyamanan, maka tetap tidak bisa memberikan kebahagiaan.
"Kalau dari awal Azure tahu, hidup akan jauh lebih berat tanpa Mama, mungkin Azure enggak akan berpikir panjang buat ikut pergi sama Mama." Di balik kaca helm yang menutup sempurna, Azure berbisik lirih pada embus angin malam itu. "Maaf, Ma, meski Azure sudah sedewasa ini, Azure tetap enggak bisa buat relain Mama pergi. Karena di sini ... Azure benar-benar butuh Mama."
Rasanya seperti ada tali-tali tak kasat mata yang mengikat hatinya. Sebuah ikat yang membuat napasnya terasa sangat sesak. Azure bahkan harus membuka sedikit kaca helm untuk sekadar menarik napas dalam dan mengisi pasokan udara di paru-paru.
Menjadi bocah saja rasanya sudah terasa berat ketika Mama tiada. Apalagi sekarang waktu memaksa dirinya untuk menjadi dewasa. Benar-benar menyebalkan. Azure dipaksa harus tetap tegak berdiri ketika dunianya telah terasa hancur dan hilang. Lagi-lagi karena belahan jiwanya melebur dengan tanah.
Di tengah riuh gemuruh dalam dada, kedua mata Azure tidak sengaja melirik ke bahu jalan sebelah kanan lalu melihat seorang gadis setelan baju kemeja kotak-kotak berdiri di sana. Wajahnya familiar, tetapi ada yang berbeda dari cara orang itu menatap dunia. Dan ketika Azure memelankan laju kendaraan, maka tidak ada kesalahan dari terka dalam kepala.
Cerise Dianes.
Si sosok pemilik prestasi gemilang dengan kehidupan yang penuh kebahagiaan. Si sosok dengan senyum yang tak pernah padam. Namun kini, tepat di bawah sorot lampu jalan, gadis itu menunjukkan ekspresi lain di sana. Kelam. Seakan ada lubang besar yang berusaha disembunyikan.
Diam-diam, Azure tersenyum miring lalu menarik pedal gasnya jauh lebih kencang.
***
"Ingat pulang juga kamu, Azure?"