Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Yang pertama kali Cerise lihat ketika membuka mata adalah keberadaan Azure di samping tempat tidur. Laki-laki itu terlihat tengah fokus menggerakkan pensil di atas kertas putih yang kini telah penuh coretan. Cerise mengerjap pelan, mencoba menormalkan pandangan. Karena rasanya kepala Cerise masih berkunang."Azure," panggilnya dengan suara serak membuat Azure spontan mengalihkan atensi, lalu menatap Cerise lekat.
Melihat Cerise yang sudah siuman, entah mengapa membuat perasaan Azure lega. Laki-laki itu tanpa sadar menunjukkan seulas senyuman sebelum bangkit dan membuat segelas teh manis hangat. Dari tempatnya berdiri, Azure sesekali menatap Cerise yang masih terlihat lemas. Pucat yang semula seakan menghisap habis darah Cerise, sekarang berangsur-angsur kembali pulih.
Azure berdeham, lalu menarik pelan tangan Cerise agar gadis itu mengubah posisi menjadi setengah duduk. Ia memberikan segelas teh itu dan kembali duduk, membiarkan Cerise menyeruput isinya hingga tandas. Benar-benar tandas! Sepertinya, hilang kesadaran membuat gadis itu kehausan.
"Terima kasih, Azure."
Tidak ada jawaban. Azure memilih diam tanpa kata. Hanya menatap Cerise dengan sorot yang tak terbaca. Sebenarnya, ada banyak tanya yang ingin Azure sampaikan, tetapi pada akhirnya, laki-laki itu bungkam, membiarkan segala tanya hanya berakhir di kerongkongan. Iya, setidaknya sampai Cerise sendiri yang mau bercerita kepadanya.
Sepi merambat di antara dinding-dinding ruang kesehatan. Hening di sana dibiarkan meraja tanpa ada yang ingin menghancurkannya. Mungkin, Azure, atau pun Cerise sama-sama masih ingin diam, sekadar menghirup udara yang dinginnya hampir terasa membekukan. Kedua insan itu saling menatap, sebelum akhirnya Azure memutus kontak, dan memilih kembali mengerjakan soal-soal. Sementara itu, Cerise menautkan jari-jarinya sambil sesekali meremasnya pelan. Ada sesuatu yang ingin dirinya katakan, tetapi keberanian masih belum terkumpul secara keseluruhan. Maka dari itu, ia memutuskan kembali berbaring dengan mata terjaga.
Iris pekat Cerise menatap lamat langit-langit ruangan. Seakan di atas sana, ada sesuatu yang menarik perhatian. Padahal, cat yang membalut langit-langit itu warnanya telah pudar, dan di beberapa bagian terlihat menghitam. Namun, Cerise tetap memandangi sampai rasanya, leher gadis itu pegal sebab terus-menerus mendongak. Ia berdecak pelan, tak tahan dengan situasi saat ini.
Setelah itu, sekonyong-konyong Cerise bangkit dan duduk di tepi ranjang. Azure yang merasakan pergerakan tiba-tiba itu mampu membuatnya terperanjat. Cerise tersenyum lebar.
"Ngapain, sih, lo, senyum-senyum? Serem tahu enggak?" Azure kesal. Dari tadi dirinya menunggu agar Cerise mau bercerita. Namun, bukannya bercerita, gadis itu malah tersenyum lebar, seakan ketidakberdayaannya tadi hanya sebuah fatamorgana. "Berhenti natap gue kayak gitu. Lo enggak sadar kalau ekspresi lo itu kayak macan laper?"
Dengan begitu saja, Cerise tergelak. Wajah yang semula nampak pucat kini kembali berseri, menyisakan kering pada bibir tipisnya.
"Aku emang lagi laper, Azure," gumamnya sembari memilin jari. "Jadi, aku boleh minta tolong kamu buat beliin makanan?"
"Banyak mau banget, sih, lo! Tahu gitu mending tadi gue biarin aja lo tidur di koridor," katanya dengan nada ketus, tetapi setelah itu, Azure bangkit. Ia meraih jaket yang ada di leher kursi, lalu mengenakannya sebelum melanjutkan, "lo mau makan apa? Kayaknya di sini kantin udah tutup, deh. Kalau lo mau tahu, lamanya waktu lo pinsan itu hampir dua jam. Anak-anak lain udah pada pulang."
Mendengar kalimat itu, Cerise cepat-cepat menoleh, menatap jam bulat yang menempel sempurna di dinding bercat putih itu. Jarum pendek di sana menunjuk ke angka tiga, sedangkan jarum panjang menunjuk angkat tujuh. Cerise seperti dibuat senam jantung. Berikutnya, gadis itu nampak gusar. Ia mengedarkan pandangan, terlihat tengah mencari sesuatu.