Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.***
Magenta Azure awalnya mengira bahwa setelah kepergian Mama, ia telah sempurna mati rasa. Ia mengira tak akan ada suatu hal yang mampu membuatnya ketakutan. Karena ketakutan terbesarnya telah terjadi—Mama tiada. Siapa sangka, jika ternyata semesta tak pernah mengambil perasaan itu darinya.
Sebab tepat di bawah deras guyuran hujan, Azure berdiri dengan kaku menatap bangunan di depannya. Ia pikir setelah tiba di sini, ia akan menemukan kembali riuh yang membuat hatinya seharian tak tenang. Namun, justru yang ia temukan hanya gelap dari dalam ruangan dan hening menenangkan. Azure mengusap wajah, lelah.
Kemudian, terdengar deru motor dan klakson yang saling bersahutan. Azure menoleh, menatap sekilas pada Leni juga Reno yang baru saja tiba. Dua manusia itu bergegas turun dari motor dengan mimik wajah panik.
"Lo enggak salah rumah, kan?" Leni lebih dahulu memulai percakapan. Bibir gadis itu sedikit bergetar sebab suhu udara berhasil membuatnya gemetar. "Rumahnya sepi, kayaknya di sana enggak ada siapa-siapa. Lo enggak salah alamat, kan? Awas aja kalau kami malah dikasih alamat palsu kayak lagunya—"
"Lo bisa diem enggak, sih?" Reno menyela. Ia menggeser pelan tubuh Leni, lalu kembali melanjutkan percakapan. "Daripada bengong kayak gini, mending diketuk dulu aja pintunya."
Azure diam, seperti tengah mempertimbangkan suatu hal. Menit berganti, Azure memejamkan mata untuk kemudian menghela napas dalam. Ia maju lebih dahulu, berjalan perlahan dengan gemuruh dada yang kembali tiba.
"Azure itu biru langit. Mama sengaja memberi kamu nama itu karena dari beberapa warna milik langit, biru adalah yang paling Mama sukai. Harapan Mama dan Papa sederhana, semoga kelak kamu akan selalu berwarna, bahagia. Semoga orang-orang bisa merasa senang ketika kamu hadir, selayaknya saat melihat langit yang semula kelam berubah menjadi biru terang."
Tiba-tiba saja ucapan Mama beberapa tahun lalu kembali berputar. Kotak kenangan yang ia miliki telah terbuka dengan sendirinya, lalu segala isi di dalam sana keluar, berhamburan. Kalimat-kalimat Mama seakan menari dan Azure merasa sedikit tenang.
Ma, izinin Azure untuk menjadi biru yang Mama harapkan. Izinin Azure agar menjadi biru yang hadir untuk mengusir kelam di dalam sana.
Hujan sudah hampir usai. Mega kelabu yang membentang perlahan-lahan menyingkir dan membiarkan mentari muncul di antara sendu di atas sana. Dingin yang semula memeluk erat berangsur-angsur menghangat, tetapi rintik itu masih jatuh. Rintik itu masih setia datang berkunjung hanya untuk membuat orang-orang terdiam dalam kenang yang mulai berhamburan.
Di angkasa sana, petir telah berhenti saling menyambar. Gemuruhnya menjadi tenang. Seharusnya Azure juga merasakan hal demikian, tetapi nyatanya, laki-laki itu tetap tak bisa mengusir segala keresahan. Tangannya terangkat di udara, lalu ia mengetuk pintu sedikit tergesa.
Detik berganti, ketukan Azure berhenti kala menyadari daun pintu itu tak benar-benar tertutup. Ada celah yang akan terbuka kian lebar ketika Azure mendorong secara perlahan. Ia menoleh pada Leni dan Reno sebelum akhirnya memilih membuka hingga gelap di dalam ruangan dapat mereka tangkap.
"Enggak ada siapa pun di sini." Leni berbisik lirih. Ia memilih beringsut dan diam di balik tegap punggung Reno. Jika boleh meminta, ia ingin mereka pulang saja. Karena berada di situasi ini membuatnya sedikit ketakutan.
Namun, Reno dan Azure belum mau berhenti. Mereka melangkah memasuki rumah. Pandangan mereka mengedar, menatap setiap penjuru ruang sebelum akhirnya pekik kencang Leni menggema, menyentak keduanya.
"Cerise!"
Menit itu, Leni berlari. Ia mendorong tubuh Reno yang menghalangi jalannya. Jantung gadis itu telah kehilangan tempo dan di saat bersamaan, ia merasa hatinya ditikam suatu hal menyakitkan. Gadis itu berseru kencang dengan air mata telah merebah di pipi putihnya.