BAB 4

46 10 8
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Semoga Allah mudahkan segala hal.

***

Jika jarum jam telah menunjuk ke angka tujuh, itu artinya segala luka yang semalam dirinya rasakan harus segera sirna. Ia harus kembali berdiri tegak lalu tersenyum secerah mentari di atas sana. Ia harus tetap tertawa agar orang-orang tidak pernah mengira jika selama ini, bahagianya adalah pura-pura. Bahagianya hanya topeng semata untuk menutupi kerapuhan yang ada.

Karena selain membenci diri sendiri, ia juga benci pertanyaan orang-orang mengenai keadaannya. Hingga pada akhirnya, berpura-pura adalah jalan terbaik agar mereka tidak perlu bertanya. Agar mereka tetap mengira bahwa ia selalu baik-baik saja. Setidaknya sampai saat ini, cara itu masih berhasil mengelabui siapa pun.

"Ceri! Katanya sebentar lagi bakalan ada olimpiade matematika. Kamu mau ikut seleksinya?"

Pagi itu, kelas selalu ramai seperti biasanya. Berhubung jam belajar mengajar belum dimulai, mereka memilih memanfaatkan waktu untuk bercakap ringan. Sesekali, terdengar tawa menggema kala salah satu dari mereka melontarkan kalimat candaan. Namun, karena ucapan dari Rina, percakapan itu seketika teredam. Kemudian fokusnya beralih hanya pada Cerise.

"Ikut aja, Cer!"

Cerise merunduk dalam. "Aku ... takut," ucapnya seakan ada keraguan dalam kalimat yang terlontar. Gadis itu meremat jari-jari tangannya.

"Takut kenapa? Tahun kemarin aja kamu menang, lho, Cer. Nah, foto dan nama kamu aja masih dipajang di mading. Tahun sekarang juga pasti menang lagi, Cer. Yakin."

Setelah itu, jeda mengambil alih. Hening di sana berlangsung cukup lama tanpa ada siapa pun yang berniat memecahkannya. Sampai pada akhirnya, Cerise menghela napas panjang. Ia perlahan menggeser kursi ke belakang lalu bangkit. Sejenak tangan ringkih itu membenarkan tatanan rambut sebelum kembali membuka percakapan.

"Justru itu, Len. Aku takut. Aku takut menang."

Dan sebelum kerja saraf mereka merespon ucapan Cerise, gadis itu telah terlebih dahulu berlari meninggalkan ruang kelas. Bersamaan dengan punggung yang terlihat semakin menjauh, riuh pekik dari teman-teman berhasil membuat dirinya tertawa kencang. Cerise berniat menghentikan langkah, tetapi urung ketika ternyata di belakang sana, Leni mengejar dengan sapu berada di tangan.

"Sombong kamu, Cer. Sini, aku ketekin!"

Detik itu, Cerise benar-benar tertawa sangat lepas seakan tidak ada lagi hari di mana kebahagiaan ia temukan. Kemudian tanpa diketahui siapa pun, di saat itu semesta sedang merekam bagaimana cara gadis itu tergelak. Bagaimana setiap langkah ringannya melewati satu per satu kelas. Untuk selanjutnya rekaman itu disimpan dalam kotak bernama kenangan.

Karena hanya di tempat itu, semesta bisa menyaksikan seorang Cerise yang benar-benar bahagia. Seorang Cerise Dianes yang melepas segala beban di pundaknya. Meski setelah jam belajar mengajar habis dan ia kembali ke rumah, luka juga kesakitan itu harus dirinya rengkuh, lagi.

"Azure!" Cerise memekik riang sambil menghampiri pemilik nama itu. "Selamat pagi!"

Azure menoleh, tetapi hanya untuk beberapa detik sebelum kembali berjalan dan mengabaikan panggilan Cerise di belakang.

"Azure tunggu!" Tarikan napas Cerise memburu. Gadis itu mulai kelelahan selepas berlari menghindari kejaran Leni. "Tangan kamu udah enggak sakit, kan?"

Azure membuang napas kasar dan berhenti berjalan. "Dari kemarin, urusan kita itu sudah selesai. Jadi, seharusnya tidak ada lagi alasan lo panggil-panggil nama gue, kan?" Azure menghindari gerak tangan Cerise. "Apa, sih?"

REDA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang