BAB 19

68 4 1
                                    


Revan kini berada di atap sekolahnya masih dini hari tapi gerbang sudah terbuka. Ia tidak melihat satpan mungkin beliau sedang memasak pisang goreng dan kopi di kantin, pikir Revan. Entah mengapa Revan malah ketempat ini ia juga bingung.

Revan mengalihkan pandangannya dari bulan yang kian menghilang menuju pergelangan tangannya yang masih mengeluarkan darah ,itu tidak dalam tapi pasti akan cukup menyakitkan entahlah apa ia bisa mati dengan sayatan tersebut. Revan bersyukur kembali berangsur angsur merasakan perih di tangannya, tapi yang mendominasi sekarang hanya rasa sakit pada kepalanya yang benar benar sakit luar biasa, tapi ia terlihat biasa saja ia sendiri bingung, rasanya lebih menyakitkan saat ia tidak bisa mengeluh dan menangis lagi.

Semakin menakutkan karena ia tidak dapat merasakan apa apa lagi, apa ini jawaban dari doanya tapi kenapa ini lebih menyiksa.Revan ingin terbebas dari semua sakit ini, tapi ia kini telah kehilangan arah karena sudah terlalu lama berada di sana, selain rasa sakit fisik yang kini ia rasakan ia juga lelah ia melupakan banyak hal bahkan ia baru ingat bahwa ia memiliki kanker otak.

Revan bergerak merogoh sesuatu di saku celananya mengeluarkan ponselnya dan mengeluarkan sesuatu di sana, mengetik beberapa kalimat untuk seseorang. Benar, itu pesan untuk Icha ia pun tidak mengerti kenapa ia mengetikkan hal tersebut ia hanya merasa perlu melakukannya.

Mungkin karena ia merasa ini adalah akhir dari segalanya, akhir dari penderitaan panjangnya, entah apa yang menyambutnya setelah ini, ia hanya berharap itu tidak lebih buruk dari sekarang, karena ia menolak untuk tersiksa kembali.

Suatu hal harus memiliki balasannya, ia mengalami semua ini tentu karena telah melakukan dosa besar atau karena ia akan di berikan balasan indah nantinya, karena semua hal punya alasan.

Kematian kini adalah hal yang paling indah dari pada hidup dalam perasaan yang telah mati,bukankah lebih baik raganya juga turut mati. Karena bahkan untuk berpura pura sepertinya ia sudah tidak bisa karena ia telah lupa bagaimana caranya.

Revan merasa sesak, wajahnya sudah memucat dengan keringat sebiji jagung yang terus menyucur, tangannya sudah bergetar. Sesak itu semakin menyelimutinya, dadanya naik turun berusaha meraup udara sebanyak mungkin, walau lagi lagi hanya kekecewaan yang ia dapatkan, ia tetap tak bisa bernafas, pada akhirnya ia hanya pasrah dengan sisa sisa udara yang masih saggup masuk ke paru parunya.

Revan tersenyum penuh harap, ia tidak takut, tidak akan menyesal, hidupnya 17 tahun ini cukup membuatnya sadar bahwa ia adalah manusia kuat yang dipilih tuhan walau ia tidak tahu tuhan siapa itu, tuhan yang mengurungnya disini maka ia pula yang akan melepasnya.

Semua luka akan pergi, semua perasaan itu akan pergi, dan semua orang juga akan pergi. Revan tahu ia tidak cukup baik untuk ada di tempat terbaik, tapi ia hanya anak kecil yang hanya mengerti luka. 

Ia tidak cukup berani untuk memilih, yang ia tahu hanya luka dan luka, ia hanya berharap tuhan memaafkannya karena tidak bisa memilihnya, ia adalah pendosa yang tak memiliki keyakinan. Ia tidak tahu harus berdoa dengan siapa dan terus tumbuh seperti itu bahkan di akhr hidupnya pun.

Revan tanpa sadar tersenyum ingatan ingatan terakhir di kepalanya adalah orang orang yang memandangnya dengan senyuman disana. Revan sudah tak bisa meraup udara lagi, kepalanya perlahan berhenti berdenyut.

Mungkin pada akhirnya ia hanya sebuah sampah kotor, tapi ia juga seorang manusia yang mengharapkan kehidupan seperti manusia lainnya.

Ia mungkin adalah sebuah matahari bagi orang orang walau aslinya ia adalah seorang pecundang yang terus menutupi bekas lukanya.

Revan, remaja tersebut telah melalui banyak hal kini waktunya untuk beristirahat.

NEKROSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang