Bab 19 - Seperti Rapunzel

773 133 40
                                    

"Untuk cinta, tolong teruslah bersemayam. Pada nama yang kerap kuucap tiap malam."

______________________________________

Karakter milik Masashi Kishimoto
Tinggalkan vote dan komentar
Agar Mumu makin semangat
.
.
.
Selamat membaca

By : Aqueensha29

-----------------------------------------------------------

"Jadi...," wanita senja berambut ungu kelam sengaja mengulur kalimat lanjutan. Mata sewarna rembulan girang memamerkan lingkaran perak yang menghiasi jari manisnya. "Ibu sudah menikah."

Si lawan bicara menghela napas payah di bangku seberang. Meja persegi menjadi pemisah mereka dengan dua gelas jus jeruk duduk berhadapan. Semenjak setengah jam lalu, wanita muda yang memiliki corak helai sama tak mengumbar sedikit kata. Hinata diam, menyimak. Setia menjadi pendengar tentang resah kesah dan masa depan pilihan dari wanita yang mengandungnya sembilan bulan.

Namanya, Hikari Hyuuga, yang entah sekarang berganti marga apa. Tak bersua bukan berarti tak tahu kabarnya. Hinata hanya enggan bersapa apalagi jika adiknya mengetahui seperti apa kelakuan sang ibunda. Wanita berumur hampir setengah abad itu terlalu percuma bila diabaikan pria-pria. Tubuhnya yang masih kesat dan kencang butuh belaian disusul paras cantik rupawan adalah dambaan para hidung belang. Jatuh cinta kilat. Pernikahan singkat. Perceraian cepat. Sudah tiga kali menikah setahun kemudian berakhir menerima akta pisah. Tak lupa setelah mengeruk harta gono gini, ibunya mengundurkan diri.

Muak bukan?
Itulah asal muasal Hinata sukacita kala wanita penggoda itu hengkang dari sisi hidupnya. Dan kini dia kembali ada. Melakukan pertemuan diam-diam di kafe sekitar tempatnya mengajar.

Hinata mangut-mangut paham. "Jadi siapa pria yang tidak beruntung itu?" Menyambar jus di hadapannya lalu meneguknya tandas. "Ibu perlu kukasih selamat tidak?"

Dan seusai Hinata menyelesaikan sindiran, telapak tangan mungil sang ibu menghantam keras lengan putrinya.

Hinata mengumpat lirih seraya membelai kulitnya nyeri.
"Bu, di mana-mana yang suka menyiksa itu ibu tiri. Kenapa ibu kandung perannya jahat begini?" protesnya tak terima.

Sedang si pelaku pemukulan mendelik murka. "Ibu juga ingin bahagia Hinata. Menikah dengan ayah membuat ibu tersiksa. Harusnya kau tau itu."

Hinata menggigit kecil ujung bibirnya. Mata pucatnya berlari pada celah sempit yang ditawarkan jendela kafe. Dia terlampau cerdas untuk memahami makna bahagia yang dibicarakan sang bunda.
Dia mungkin kecewa namun tak sedikitpun membencinya.
Dia tahu perilaku ibunya salah tetapi tak sepenuhnya.
Semenjak belia, retina matanya kerap disuguhkan perilaku kejam nan menyimpang sang ayah. Kala fajar menyambut dunia, kulit putih susu sang bunda merah lebam. Teriakan kesetanan selalu menggema setiap malam. Selain kenikmatan bercinta, Hinata tak paham lagi apa yang mendasari pernikahan orang tuanya.

Hinata mendengkus kesal. "Lalu mau Ibu sekarang bagaimana?" Bola matanya menggapai wanita tua yang memamerkan senyum sumringah.

"Hidup ibu sudah cukup lumayan. Kalian tinggal bersama ibu dan ayah Iruka ya. Hanya dua puluh menit dari tempat kerjamu."

What!
What!
Hinata melotot. "Mana bisa begitu?"

"Dari pada gajimu habis untuk menyewa rumah. Lebih baik kita tinggal bersama." Sang ibu tetap bertahan dengan rayuan.

Paras si dosen beralih cemas. "Aku tidak mau, Bu," tolak Hinata. "Nanti kalau aku dan Hanabi disiksa seperti tokoh Cinderella bagaimana?" lanjutnya ngawur.

Straight Way to Hell (Season 1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang