Bab 6 - Ini salah

1.3K 204 16
                                    

"Tengoklah petang. Tak sekedar kelam yang ditopang. Walau tanpa gugusan gemintang, doaku setia berkumandang kerinduan."

______________________________________

Karakter milik Masashi Kishimoto
Tinggalkan vote dan komentar
Agar Mumu makin semangat
.
.
.
Selamat membaca

By : Aqueensha29

-----------------------------------------------------------

Yang Konohamaru kenang tentang pertemuan pertama dengan si gadis pemilik mahkota ungu kelam ialah gemuruh ombak yang meledak-ledak. Pasang lautan meruntuhkan tembok kenakalan upaya bentuk pelampiasan ketidakpuasan hidup. Rentetan kalimat awal yang penuh caci maki berganti syair mendayu-dayu yang kala itu si jelita lantunkan. Iya, si nakal yang dulu pemuja klub malam beralih haluan ingin jadi pujangga.
Ah, Miss Hinata.
Wanginya merajuk sukma.

Lalu dipertemuan kedua, ia mencoba peruntungan. Kaki yang berbalut jeans hitam serta kaus berkerah, berlayar tampan di pelataran rumah si gadis pujaan. Harap-harap cemas diundang sebelum tangannya mengepal mengetuk pintu utama. Bukan disambut Hinata, cemooh di raut si gadis lugu nan mungil begitu ketara kala ia memperkenalkan diri sebagai calon masa depan Hinata. Tetap menenteng bendera merah, ia ulurkan tangan ikhlas penuh pesona agar si calon keluarga tahu letak kesempurnaan yang didapat dari Tuhan. Sekali lagi sikap tak acuh milik si manis yang ditawarkan.

Perkenalan pertama mereka membuat rasa kesal si pemuda bersungut-sungut ingin mencelakainya. Jika saja sang batin tak mengingatkan akan dosa. Jika saja ia tak iba bahwa Hanabi adalah satu-satunya keluarga milik gadis yang dipuja. Fakta tentang Hinata dan Hanabi yang sebatang kara tanpa sanak saudara baru tiga hari ia ketahui semenjak menapakkan kaki di rumah sederhana mereka.

Hanabi Hyuga.
Gadis manis yang baru menginjak jenjang pertama. Jika Hinata serupa bunga lavender bermakna sempurna dan sederhana, Hanabi bagaikan kelamnya langit malam. Dingin memang, namun mengusung kerinduan.

Dibalik paras yang mengumbar senyum dan tawa, segelintir sengsara diderita di masa sekolah. Jasmaninya diperlakukan kejam, kedudukannya dicela, dan puluhan coretan bernada ancaman memadati buku pelajaran.

"Kalau kau diperlakukan tak adil di sekolah setidaknya mengadulah pada kakakmu."
Kebekuan yang sedari tadi tandang terusir akibat pekikan menggebu milik Konohamaru.

Matanya nyalang berkilat merah ketika melabuhkan kuda besi kekinian melihat Hanabi yang dipukuli teman seangkatan. Seragam barunya lusuh berbekas cipratan kotoran serta debu yang jadi pajangan. Niat awal yang terpaksa mengantar asupan karbohidrat berakhir dengan si dewasa yang melerai para anak-anak kurang didikan.

"Terimakasih kak."

Nada yang mengalun pelan menambah geram yang kadung bercongkol di hati si pemuda.

"Ayolah jangan diam saja. Mereka itu sedang melakukan perundungan padamu."

"Tolong jangan ceritakan pada kak Hinata. Aku tidak ingin dia kepikiran." Mata peraknya menatap sayu paras bengis yang mengudara di ubun-ubun si pemuda. Hanabi mereguk udara mentolerir sesak di dada. Menahan genangan di bawah kelopak mata agar bulirnya tak jatuh ke bawah.

"Kalau kau dijahati cobalah membalas. Tak selalu tentang kekerasan Hanabi coba lawan dengan kalimat pedasmu," tutur Konohamaru berwibawa, namun gelengan kepala diberikannya.

"Kalimat apa yang harus kubalas kak jika memang aku ini tidak punya orang tua."

Mulut yang semula ingin menyanggah mundur tahu diri. Keengganan datang untuk mengomentari apabila membawa nama orang tua. Tiada anak yang mau hidup sengsara tanpa kasih sayang ayah bunda. Tiada yang ingin hayatnya sebatang kara. Layaknya bunga, mereka tak tahu tumbuh di tempat seperti apa. Begitu pula anak adam yang lahir ke dunia, masalah orang tua, Tuhan yang memilihkannya. Tak salah jika sekarang Hanabi bermuram durja, karena ia yang akan menginjak usia matang juga merindu kasih keluarga.

Straight Way to Hell (Season 1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang