Terkadang berburuk sangka membawa kita kepada ketidaksangkaan.
°°°
"Sagira?"
Gira tergugu menatap pria yang sudah tidak ia lihat seminggu lebih itu sekarang berada di depannya. Menatapnya juga dengan wajah penuh terkejutan yang kentara.
"Mas Nakula?"
Pria itu menatapnya dengan tatapan tak terdefinisikan. Gira bisa melihat mata sayu dari balik kacamata itu memancarkan kerinduan yang sama dengannya. Namun dia juga tidak ingin banyak berharap dengan asumsinya sendiri. Dikepalanya terus berputar-putar tentang hal terburuk yang harus ia alami tentang hubungan dengan pria di depannya ini. Berharap hanya akan meninggalkan luka.
Hampir seminggu lebih tidak saling sapa yang berawal dari pertengkaran, membuat suasan canggung melanda keduanya. Gira yang terlebih dahulu mengalihkan pandangan. Berusaha bangkit dengan satu tangan yang kosong. Hingga hampir membuatnya oleng karena tidak mendapat menjaga keseimbangan. Namun betapa terkejutnya dirinya mendapati tangan Nakula yang sudah terlebih dahulu sigap menangkap pinggangnya.
"Berhati-hatilah, Sagira."
Gira hanya mampu mengangguk kaku dan segera menjauhkan diri dari Nakula yang terlalu menempel dengannya. Takut pria itu risih.
"Kenapa kamu berlari? Bukankah sangat berbahaya, apalagi kamu akan turun dengan eskalator seperti tadi." Tanya Nakula dengan nada yang lembut. Suara dengan intonasi rendah yang cukup ia rindukan.
"A-aku cuma mau mengejar teman-temanku. Tadi mereka berlari menuruni eskalator ini" Jawab Gira dengan nada tertahan. Lebih terdengar mencicit ketimbang berbicara.
"Tetap saja, tidak boleh berlari. Jika terjatuhnya di eskaltor apa tidak berbahaya?"
Gira mendengus diam-diam. Pria di depannya ini seperti sedang menceramahi anak berumur 5 tahun ketimbang gadis berusia 23 tahun. Gira merasa seperti anak-anak saja.
"Iya, Mas. Aku bakal lebih berhati-hati kedepannya. Kalau begitu, aku permisi dulu." Gira langsung ingin beranjak dari tempat itu. Tak ingin berlama-lama. Namun tangan Nakula malah menahan langkahnya.
"Kenapa kamu bersikap seolah kita hanya saling mengenal tanpa perasaan? Saya sudah tidak kamu anggap, Sagira?"
Deg.
Pertanyaan Nakula seolah mengingatkan Gira kepada Ian, sang ayah. Membuatnya langsung menatap Nakula tidak percaya.
"Kenapa kamu tanya gitu, Mas? Bukannya seharusnya aku yang tanya begitu ke kamu? Kamu kemana aja? Masih anggap aku nggak?" Tanya Gira balik. Matanya terasa berkaca-kaca karena menahan tangis.
Mereka terasa menjadi pusat perhatian. Semua orang yang melewati mereka menatap keduanya penasaran.
"Ayo kita pergi dari sini, bicara di tempat lain." Bisik Nakula yang langsung dituruti Gira. Pria itu mengandengnya untuk turun ke lantai bawah. Membawanya menuju basement tempat mobilnya terparkir.
Gira hanya terus diam mengikuti sembari melihat tangannya yang tertaut dengan tangan besar Nakula. Ada gelanyar aneh yang mengitari di hatinya. Terlebih lagi kebingungan-kebingungan yang seolah bertabrakan seolah bertanya apa arti pria ini di hatinya. Kenapa dia dengan mudah menerima lamaran pria ini? Kenapa dia membiarkan pria ini masuk terlalu jauh di kehidupannya, tanpa mendalami terlebih dahulu arti pria ini dalam hidupnya. Apa ia benar-benar sudah mencintainya? Atau hanya tertarik saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cek Apartemen Sebelah [END]
RomanceSetelah lima tahun, Gira kembali dipertemukan dengan mantannya, Sadewa, yang tiba-tiba muncul menjadi tetangga sebelah apartemennya. Tak hanya itu saja, Dewa juga bertransformasi menjadi bos baru di tempatnya bekerja. Hubungan yang dulunya seerat na...