Owen berdiri di depan pintu gerbang sebuah rumah, ia lalu menekan bel yang ada di dekat gerbang sambil berteriak. "Keluarlah jika kamu bukan pengecut!" Tak berselang lama gerbang terbuka, diikuti langkah kaki dua pria berbadan besar serta berwajah garang yang muncul dari balik gerbang.
"Kalau bertamu itu yang sopan!" tegur salah seorang dari mereka. Sementara rekannya langsung menyuruh pergi. "Pergi sana! Sebelum kamu pulang dengan kondisi tubuh tak lengkap!"
Sebenarnya, dua pria penjaga gerbang merasa heran akan pemuda yang ada di hadapannya, sebab laki-laki itu memiliki wajah yang penuh luka lebam serta bersikap menantang.
"Suruh majikan kalian keluar!" bentak Owen, raut muka dan sorot matanya terlihat penuh kemarahan.
"Maaf tapi kamu ...." Belum sempat kalimat itu selesai Owen sudah berusaha menerobos masuk, akan tetapi, gerakannya dengan mudah dihentikan.
"Maaf Mas, bisa sopan gak!" seru pria itu sambil tetap bersabar, sedangkan rekannya sudah terlihat sangat marah dan hendak melayangkan bogem mentah.
Ia tak gentar, mendorong badan orang yang menghadang, kemudian kembali berusaha untuk masuk, tapi sebuah tinjuan dari pria lain sedang mengarah padanya. Pemuda itu dengan mudah menghindar, lalu memakai tangan kiri guna memukul balik. Serangan itu berhasil, kedua pria tersebut terkejut dengan ekspresi wajah diliputi emosi.
Melihat rekannya terkena pukulan, ia segera berusaha menendang perut pemuda itu. Namun, Owen melompat untuk menghindar dari serangan, lalu memukul wajah penjaga gerbang tersebut sampai terjatuh. "Rasakan itu!" hardiknya kasar. Naas, saat kedua kakinya menyentuh tanah, seseorang menangkap tubuhnya dari belakang.
"Sial!" maki Owen seraya berusaha melepaskan dekapan kuat musuh. Saat itulah pria yang tadi terjatuh segera berdiri dan hendak memukul, tapi suara keras perempuan menghentikan gerakan pria tersebut.
"Kalian hentikan!" Alyssa terkejut melihat Owen berkelahi dengan dua penjaga rumahnya, tapi yang lebih membuat terkejut adalah tatapan ganas pemuda itu padanya. Dia lalu menyuruh pergi dua penjaga gerbang, sedangkan ia akan berbicara empat mata dengan tamunya.
Awalnya, kedua penjaga gerbang itu hendak menolak perintah, tapi, setelah melihat sorot tajam dari Alyssa mereka langsung menurut tanpa sekalipun berani membuka mulut.
Alyssa menghampiri Owen, setelah tepat berdiri di depan pemuda itu langsung mulai bertanya. "Ada apa Owen? Kenapa dengan wajahmu?" Tanpa sadar tangannya mencoba menyentuh luka pada wajah Owen.
Owen menepis tangan Alyssa sambil menatap tajam. "Semua ini ulahmu kan?!" tegasnya sambil menunjuk semua luka memar pada wajah.
Alyssa tidak mengerti perkataan lawan bicaranya, sehingga bingung memberikan jawaban. "Aku tidak tahu ...."
"Berhenti berpura-pura!" potong Owen, "Aku tidak akan terkecoh oleh sandiwara yang kau mainkan!" Ia sangat emosi, merasa menyesal karena mau berteman dengan gadis itu. Selesai berbicara, segera pergi dari lokasi.
Kata-kata yang dikeluarkan Owen tadi terasa sangat tajam juga pedas bagi Alyssa. Hatinya terasa sakit hingga air matanya keluar membasahi wajah, ia tidak terlalu mengerti, tetapi sedikit tahu bahwa hal semua ini merupakan ulah dari ayahnya. Air mata Alyssa kian deras, hatinya teramat sakit juga pilu, kemudian, berlari masuk ke dalam rumah sambil terus menangis.
****
10.30 WIB.
Amara baru saja duduk untuk melepas lelah setelah sibuk melayani para pelanggan di kafe. Ia mengatur deru napasnya seraya menghapus keringat pada wajah memakai tisu, tapi, belum lama beristirahat, salah satu rekan kerjanya datang menghampiri.
"Amara!" panggil Maya panik. Sedangkan si empu nama hanya memandang bingung temannya. "Ada apa?"
"Itu ... itu motormu." Teman kerja dari Amara itu kesulitan menjelaskan. Ekspresi wajahnya begitu gelisah sampai tidak mampu berbicara secara jelas, hanya dapat menunjuk ke arah tempat parkir sambil terus berusaha memberi tahu.
Amara mendapat firasat buruk, seketika berdiri dan pergi ke lokasi parkir, sedangkan Maya mengekor tepat di belakang. Ia mengembuskan napas lega tatkala sepeda motor miliknya masih utuh serta terparkir rapi di tempat, tapi saat mendekat, degup jantungnya menjadi kencang disusul mimik muka yang berubah layu. Maya yang berdiri di samping Amara menutup mulutnya dengan satu tangan, sembari tangan lain menyentuh bahu Amara.
"Amara ... kamu yang sab ...."
"Siapa yang melakukan ini!" potong gadis itu cepat sambil menoleh tajam ke arah sahabatnya. Bola matanya nanar, diikuti ekspresi wajah gabungan antara perasaan marah juga sedih.
Ia melihat jok sepeda motornya dicorat-coret kata-kata kotor menggunakan cat semprot. Tentu saja hal itu membuatnya sangat syok, sebab merasa sama sekali tidak memiliki musuh atau berbuat salah pada seseorang. Kemudian, ia terduduk lemas dan menutup wajahnya memakai kedua tangan, mulai menangis meratapi vandalisme pada jok sepeda motornya.
Maya ikut duduk sembari memeluk Amara dan berusaha menenangkan isak tangis sahabatnya. Jujur, dia turut sedih dengan hal yang menimpa kawan baiknya, tidak mengira ada seseorang yang berani berbuat seperti itu. "Tenang Amara ... cup cup cup," tuturnya sambil mengelus lembut kepala mitra kerjanya.
Tak berselang lama manajer kafe ikut keluar dan menghampiri mereka, terkejut melihat dua anak buahnya terduduk di lantai, apalagi salah satunya menangis keras. "Ada apa ini?" tanya Danu. Maya segera menoleh ke belakang memandang atasannya, lalu tanpa berbicara jari telunjuknya mengarah ke sepeda motor Amara. Bola mata Danu mengikuti arah yang ditunjuk itu, kemudian mimik mukanya menjadi aneh.
"Siapa yang melakukan hal ini?!" murka Danu. Sangat emosi mendapati motor karyawan kafenya dicorat-coret vandalisme. Tangan kanannya bergerak merogoh saku celana, mengeluarkan handphone dan siap menghubungi Kantor Polisi. "Tunggu! Akan kulaporkan hal ini pada Polisi!"
Mendengar hal itu, Amara segera menghentikan isak tangis dan secara cepat menengok ke arah Danu. "Tidak usah Pak. Itu hanya akan buang-buang waktu."
Danu menatap Amara dan membatalkan menelpon Kantor Polisi, menghela napas dan menyuruh Amara serta Maya masuk ke dalam kafe. "Maya, ajak Amara masuk ke kafe untuk menenangkan diri." Yang dibalas anggukan kepala. Mereka segera berdiri dan melangkah pelan kembali ke kafe melalui pintu samping, karena tidak ingin mengganggu kenyamanan para pelanggan.
****
Di seberang jalan terdapat seorang pria yang mengawasi semua kejadian itu, ia menyeringai lebar karena sukses menjalankan tugas. Selanjutnya, memberikan laporan pada orang yang membayarnya.
"Halo ...."
"Iya, ada apa?"
"Misi sukses."
Setelah kata-kata tersebut panggilan segera dimatikan, lalu terdengar bunyi notifikasi masuk dari handphone. Saat membaca isi pesan masuk tersebut bibirnya menyeringai lebar penuh kepuasan, pasalnya pembayaran akan tugasnya telah dilunasi. "Jackpot!" Dia berteriak girang dalam hati sebelum meninggalkan lokasi.
*****
![](https://img.wattpad.com/cover/272774250-288-k59237.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Story
General Fiction[Update setiap senin] Tiga tahun berlalu kehidupan Amara sudah kembali normal, sosok yang selama ini ada di hatinya sudah sepenuhnya menghilang. Namun, sosok itu kembali datang dan membawa beribu kenangan, mungkin disertai juga perasaan Amara yang p...