Kecelakaan.

8 3 2
                                    

Selepas menghabiskan waktu bersama selama beberapa menit, Amara pun berpisah dengan Alyssa. Gadis dua puluh tahun itu kemudian pergi mencari keberadaan sang ibu, dan mendapati ibunya tengah asyik berbincang bersama Bintang. Amara tidak senang melihat hal tersebut, lantas segera melangkahkan kaki mendekat guna menghentikan pembicaraan mereka. "Bunda!" panggilnya. Si empu nama menoleh ke sumber suara.

"Iya Sayang?"

"Pulang yuk!" ajaknya.

Susi Astuti melihat Bintang melalui sudut matanya, kemudian dengan cepat pemuda itu memberikan respon. "Yuk, aku antar kalian pulang."

"Tak perlu repot-repot Nak Bintang," sanggah perempuan tiga puluh tiga tahun itu sambil sedikit tertawa. Sedangkan Bintang yang mengerti kode dari calon ibu mertuanya segera berdiri seraya kembali berkata. "Ayo Amara kita pulang!"  Sembari sedikit membusungkan dada serta kedua tangan yang sibuk merapikan rambut.

Amara memutar bola mata sambil menghela napas, merasa muak akan sikap sok akrab dari mantan pacarnya. Dia melihat ibunya berdiri, seketika terkejut tatkala mendapati barang belanjaan yang begitu banyak. "Bunda belanja banyak banget!" komentar darinya disertai bola mata seakan hendak melompat keluar.

Susi Astuti hanya terkekeh melihat keterkejutan sang anak. "Semua dibayarin oleh Nak Bintang," jelasnya disusul kepala menoleh ke arah pemuda yang ada di sampingnya.

Amara mendesah, sesudah itu berjalan pergi terlebih dulu meninggalkan dua orang tersebut. Susi Astuti dan Bintang saling bertukar pandangan sesaat sebelum mulai mengekor. Singkat cerita, ketiga orang itu sudah sampai di tempat parkir dan akan segera masuk ke dalam mobil, akan tetapi, tiba-tiba dari arah lain sebuah sepeda motor melaju kencang serta hendak menabrak salah satu dari mereka.

Amara terkejut melihat sepeda motor melaju cepat ingin menabraknya, lalu, dia berusaha menghindar. Upaya itu berhasil, tetapi menyebabkan dirinya terjungkal keras ke belakang membentur lantai basement.

"Awww ...!" pekik Amara kesakitan.

Bintang panik, segera ingin mengejar pengemudi sepeda motor, tetapi seruan dari Susi Astuti menghentikan niatnya dan berganti menghampiri Amara, segera menggendong gadis itu masuk ke dalam mobil. Awalnya, Amara menolak bantuan dari mantan kekasihnya, tapi saat mencoba berdiri sendiri pergelangan kaki kanannya terasa ngilu, disertai rasa sakit pada lengan kiri yang berdarah karena menjadi tumpuan ketika jatuh.

Susi Astuti dirundung sedih tatkala melihat kondisi anaknya terluka, sekaligus mempunyai firasat bahwa orang tadi memang sengaja ingin mencelakai. Wanita itu memandang nanar putrinya, sampai tak sadar kalau air matanya merembes keluar. Sesudah masuk ke dalam mobil, segera memeluk Amara sambil menangis. Sedangkan Bintang memacu cepat mobilnya menuju Rumah Sakit terdekat.

Di sudut lain basement, seorang perempuan tersenyum puas melihat kejadian tadi dari dalam mobil. Walau sedikit menelan kecewa karena Amara berhasil selamat, tetapi sudah sedikit mengobati rasa sakit pada hatinya. Ia lalu mengeluarkan smartphone, diikuti jari-jemari yang bergerak lincah menyentuh layar untuk mengetik sebuah pesan. Bibirnya menyeringai lebar, sebab rencana pembalasan dendam baru saja dimulai.

****

Nicholas Right Kiehl menghentikan sejenak aktifitas tatkala mendengar bunyi ketukan pada pintu. "Masuklah!" seru pria berusia empat puluh empat tahun itu sembari menatap pintu. Tanpa menunggu lama pintu terbuka disusul langkah kaki tegas berjalan masuk.

"Ada apa?" sambungnya.

"Saya cuma mau memberikan laporan tugas yang Bos berikan," terang Bambang sambil sekilas memandang atasannya. Kemudian mendekat serta menyerahkan amplop besar yang berisi data diri Owen Alfiansyah Fazhaira.

Nicholas menerima amplop itu dan segera membuka dan membaca data diri Owen. Raut mukanya berubah terkejut diikuti bola mata sedikit melebar, lalu meletakkan benda tersebut ke meja dan lanjut menatap Bambang. "Apa kau yakin data ini valid?" tanyanya memastikan.

"Iya Bos." Bambang menjawab mantap. Namun, dari mimik wajahnya terlihat ada hal yang tengah disembunyikan.

"Ya sudah. Kau boleh pergi," tukas Nicholas yang akan kembali melanjutkan pekerjaan.

Bambang bergeming, melihat Nicholas sebelum memberanikan diri membuka mulut. "Bos!" panggilnya. Si pemilik nama menatap cepat dan segera menjawab. "Ada apa?" Sebenarnya dia tahu kalau ada hal yang disembunyikan orang itu darinya. "Kenapa kau belum keluar?" tambahnya.

"Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan," tutur pria berbadan kekar dan tegap.

"Apa?"

Bambang masih nampak ragu-ragu. "Sepertinya Nona Alyssa juga sudah mengetahui latar belakang pemuda itu." Dia berbicara secara pelan dan hati-hati, sebab tak ingin membuat majikannya marah, tapi respon yang diberikan Nicholas Right Kiehl sangat tak terduga.

"Aku tahu itu," decak ayah satu orang anak. Pasalnya, sangat mengetahui seluk beluk sifat Alyssa, sekaligus tahu bahwa buah jatuh tak jauh dari pohon.

"Apa Bos tak takut kalau laki-laki itu punya tujuan buruk pada Nona Muda?" timpal Bambang. Walau hanya seorang pengawal, tapi sudah menganggap Alyssa seperti putrinya.

Nicholas terdiam sambil bola mata menatap tajam Bambang dengan bibir melempar senyuman. "Karena itulah aku memperkerjakan orang seperti kalian," terangnya dengan nada suara tenang.

"Siap Bos!" sahut Bambang. Tak berani bertanya lebih banyak lagi dan memilih pamit keluar ruangan. Sementara Nicholas hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum juga menghela napas. Ia senang akan respon Bambang yang mengkhawatirkan kondisi Alyssa, hal itu hanya memiliki satu artian bahwa tidak salah memperkerjakan orang.

****

Owen datang ke kafe untuk memberi kejutan pada Amara, tetapi ketika sampai di sana dia mendengar penjelasan dari Maya kalau Amara tidak masuk kerja dikarenakan sakit. Tanpa berbasa-basi lagi segera pergi ke kediaman teman perempuannya itu untuk menjenguk, tentu saja menyempatkan diri membeli makanan sebagai buah tangan. Walau terakhir kali berkunjung ke sana mendapat sambutan sinis dari ibu temannya, tapi tak membuat dirinya gentar, malah termotivasi sekaligus ingin membuktikan diri. Pemuda berparas cukup tampan itu sudah sering mengalami perlakuan rasis serta diskriminasi, jadi sudah terbiasa.

Dia menghentikan laju sepeda motor sekaligus mematikan mesin saat sampai di tempat tujuan, melangkah turun sambil berteriak sopan memanggil sang empu rumah. "Assalamualaikum. Permisi! Amara!" Namun, selepas tiga kali memanggil tidak ada satu pun suara yang menyahut atau orang yang melangkah keluar. Owen merasa sedikit kecewa, tangannya mengeluarkan handphone dan siap untuk menelpon Amara, tapi tindakan itu dihentikan oleh seorang wanita.

"Cari siapa, Mas?" tanya perempuan sambil berjalan menghampiri laki-laki yang datang ke rumah tetangganya.

Owen menengok ke samping dan menjawab. "Cari Amara, Tante." Sambil mengulas senyum ramah.

"Ohh, Amara dan ibunya sedang di Rumah Sakit," jelas wanita itu.

Owen seketika panik mendengar hal tersebut, berpikir tentang penyakit temannya sampai harus dirawat di Rumah Sakit. Ia bertanya nama Rumah Sakit tempat Amara dirawat, lalu segera berterima kasih sekaligus berpamitan sebelum melenggang pergi menuju ke Rumah Sakit. Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan penuh karena dilanda rasa khawatir.

"Ku mohon, Amara ... kamu harus baik-baik saja."

*****

Unperfect StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang