Owen & Alyssa.

13 3 10
                                    

Amara mengembuskan napas panjang tatkala masih tidak dapat menelepon Owen, bahkan chat darinya yang sejak tadi pagi tidak dibaca, padahal temannya itu sedang online. Ia berpikir jika laki-laki tersebut tengah sibuk sehingga tidak dapat membalas pesan dan menerima panggilan, tetapi, juga merasa kalau Owen sengaja menghindar. Lalu, meletakkan handphone dan memilih fokus pada layar televisi yang sedang menampilkan kartun dari Negara Malaysia.

"Permisi ...."

"Assalamualaikum ...."

Tok.

Tok.

Tok.

Sebuah suara salam serta bunyi ketukan pada pintu rumah mengalihkan fokusnya dari layar televisi. Amara mencoba berdiri dan melangkah ke pintu. Namun, sang bunda lebih dulu keluar kamar dan berjalan melewati dirinya. "Kamu duduk saja, biar Bunda yang buka!" titah Susi Astuti. Setelah membuka pintu melihat dua orang lawan jenis berdiri di depan pintu rumahnya sembari melempar senyum.

"Permisi, Tante. Amara ada?" ujar Danu sambil mengajak ibu temannya itu bersalaman. Ia juga tak lupa memberikan buah tangan ketika datang berkunjung. Namun, tujuan lain darinya adalah untuk mencari perhatian ibu dari Amara.

"Ada kok," sambut Susi Astuti ramah, "itu lagi nonton televisi." Kemudian, mengajak kedua tamunya masuk ke rumah.

Amara terkejut saat melihat ibunya kembali ke ruang tamu bersama dua orang temannya. Ia langsung menyapa mereka dan mencoba berdiri dengan susah payah. "Hai ...." Sedangkan Danu beserta Maya tersenyum miris melihat kondisi temannya, apalagi kaki kiri yang harus dibalut perban.

"Maaf kami baru sempat datang," jelas Danu yang disambung panik oleh Maya. "Bagaimana kamu bisa seperti ini, Amara?"

Si pemilik nama menyuruh kedua temannya untuk duduk terlebih dulu, baru selanjutnya menjelaskan tentang kronologis tragedi yang menimpanya. Dia bercerita secara mendetail, sehingga Danu dan Maya memahami semua kejadian tanpa perlu bertanya. "Kamu yang sabar ya, Amara. Kamu pasti bisa melalui musibah ini," ucap Maya yang duduk di samping sahabatnya, lalu memberikan pelukan sebagai bentuk perhatian.

Amara tersenyum dan balas memeluk Maya, diikuti bola mata tertuju ke arah Danu sembari berkata. "Maaf, Pak Danu. Tapi sepertinya saya tidak bisa masuk kerja sampai sembuh."

Manager cafe itu mengangguk paham seraya tersenyum simpul. "Tidak apa-apa, kamu bisa libur sampai benar-benar sembuh." Dia ingin berpindah posisi duduk di samping Amara, ingin seperti Maya yang bebas memeluk.

"Terima kasih, Pak."

"Panggil Danu saja," potong pria itu. "Kan kita sedang tidak bekerja." Amara mengangguk, walau merasa tak nyaman dengan kalimat tersebut.

Berbeda dengan Maya yang menatap Danu penuh curiga, pasalnya sikap Manager cafe itu seolah sedang modus. Namun, ia tak ambil pusing dan memilih kembali berbincang dengan Amara. Tak berselang lama Susi Astuti datang ke ruang tamu membawa minuman juga makanan ringan. "Maaf ya, cuma ada minuman dan makanan kecil," papar pemilik rumah.

"Enggak papa, Tante. Kami merasa malah merepotkan," sahut sopan Danu.

"Iya nih, Tante. Kami malah merasa gak enak hati," tambah Maya.

Sehabis itu beranjak pergi dan kembali ke kamar. Di dalam kamar, ibu satu orang anak itu duduk di tepi ranjang sambil membuka amplop yang tadi diberikan oleh kedua tamunya. "Lumayan," ucap Susi Astuti seraya menghitung uang.

***

Owen menghabiskan waktu hari ini bersama Alyssa. Mereka tak hanya berjalan-jalan di taman, tetapi juga pergi berboncengan menggunakan sepeda motor berkeliling kota. Pemuda itu bahkan mengabaikan pesan dan panggilan dari Amara, mungkin masih kesal karena melihat gadis tersebut kembali dekat dengan Bintang. Owen tiba-tiba menghentikan laju sepeda motor di depan warung kaki lima, seraya meminta temannya turun dari sepeda motor.

"Kamu turun dulu."

Alyssa mengangguk, tetapi juga dirundung bingung. Selepas turun dari sepeda motor dia baru bertanya. "Kenapa berhenti?"

Owen pun ikut turun dan memarkir sepeda motor. "Aku lapar, kita makan dulu," ajaknya, sambil sorot mata tertuju pada warung pecel lele yang ada di depannya.

"Makan di mana?" tanya Alysaa.

"Di sini."

"Di pinggir jalan!" tukas gadis berparas ayu itu terkejut, "nanti kalo ada truk atau mobil lewat kita bisa ditabrak."

Owen memutar bola matanya sambil mendesah. "Bukan di sini, tapi di situ," terangnya sembari jari telunjuk tertuju pada warung.

"Ooh." Alyssa mengangguk mengerti, tetapi tetap ragu kalau harus makan di warung kecil pinggir jalan yang menurutnya tidak higienis. Seumur hidup sama sekali belum pernah makan atau jajan di warung pinggir jalan. Dia menelan ludah dengan gambaran buruk berputar-putar di dalam benaknya.

"Kamu belum pernah makan pecel lele?" tanya Owen tatkala melihat raut muka temannya berubah sedikit gelisah. Sementara Alyssa hanya menggelengkan kepala tanpa berbicara.

"Lalu ...?" Owen kembali bertanya karena penasaran, menatap lekat-lekat wajah temannya seraya menunggu jawaban.

"Aaa ... aku belum pernah makan di warung kayak gini," lirih gadis itu sambil sedikit menunduk malu. Namun, ia segera menengok ke samping saat mendengar suara tawa.

Hahahaha ....

Owen tak bisa membendung tawanya, terus tertawa terbahak-bahak sampai perutnya sakit. Pemuda itu baru berhenti tertawa ketika merasakan cubitan kecil pada pinggang serta tatapan tajam dari temannya. Ia lalu menggenggam tangan Alyssa dan mengajak berjalan masuk ke dalam warung. "Tenang saja, aku sering makan di sini dan masih hidup sampai sekarang," pungkasnya.

Di dalam warung mereka langsung disambut pemilik warung yang bertanya. "Mau makan apa, Mas, Mbak?"

Owen menoleh ke arah Alyssa. "Kamu mau makan apa?"

"Sama seperti kamu aja," timpal gadis itu.

Owen mengangguk dan kemudian berkata kepada pemilik warung. "Pecel lele dua dan es teh jeruk dua."

"Es lemon tea, Mas," koreksi pedagang itu, "bukan es teh jeruk." Sedangkan Owen hanya terkekeh, pasalnya dia adalah pelanggan setia di warung pecel lele ini.

Selepas itu, ia bersama Alyssa memilih bangku kosong, lalu duduk tenang sembari menunggu pesanan datang tanpa saling berbicara. Owen duduk diam dengan satu tangan menopang dagu, sementara Alyssa memperhatikan setiap aneka gorengan juga kerupuk yang terhampar di sepanjang meja. Hingga tiba-tiba terdengar bunyi dering handphone, tangan Owen dengan cepat mengeluarkan benda pipih tersebut sambil bola mata menatap layar. Lalu, jempolnya menekan layar untuk menolak panggilan, bahkan selanjutnya mematikan smartphone.

"Dari siapa?" tanya Alyssa penasaran setelah melihat Owen kembali memasukkan handphone ke dalam saku celana.

"Bukan siapa-siapa," balasnya.

Setelah sekian menit menunggu, makanan yang dipesan akhirnya datang beserta dua mangkuk berisi air yang dipakai sebagai tempat mencuci tangan. Alyssa menatap bingung makanan yang ada di depannya, sebab tidak melihat sendok atau garpu yang digunakan untuk makan.

Owen menoleh sekilas sambil mencuci kedua tangannya di mangkuk. "Cara makannya pakai tangan." Kemudian meledek temannya. "Dasar orang kaya."

Alyssa melihat cara Owen, lalu ikut mencuci tangan di mangkuk berisi air dan siap memulai makan. Namun, ia menjadi ragu saat hendak mengambil makanan itu dengan tangan kosong.

"Alyysa," panggil pemuda itu, membuat si empu nama menoleh cepat. "Ada apa?"

"Buka mulut!" titah Owen.

Secara refleks Alyssa membuka mulut. Selanjutnya, sesuap nasi pecel lele masuk ke dalam mulutnya. Ia mengunyah dan menelan makanan itu sambil memandang intens Owen, diikuti jantung berdebar keras serta perasaan hangat mengalir keluar dari lubuk hatinya.

"Cie ... cie ... so sweet," goda penjual pecel lele tatkala melihat adegan romantis di warungnya.

*****

Unperfect StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang