Owen & Amara.

5 2 1
                                    

23.40 WIB.

Amara berbaring di tempat tidur sambil terus memandangi layar handphone, menunggu serta berharap menerima pesan balasan dari Owen. Namun, dia mulai dilanda gelisah, sebab temannya terus menolak panggilan dan sama tidak membalas pesan. "Aku salah apa ya?" pikir gadis berusia dua puluh tahun. Lalu, menghela napas sembari menatap sedih smartphone, sekali lagi berusaha menghubungi Owen lewat panggilan suara, tapi hasilnya tetap sama.

Amara membanting benda pipih itu ke kasur seraya menghela napas panjang saat panggilan telepon darinya kembali ditolak. Ia mendesah sedih sambil menyibak rambut ke belakang, kemudian, tangannya kembali meraih handphone dan mengetik pesan dengan penuh emosi. Selepas itu, menekan layar untuk mengirim pesan ke nomor Owen. Gadis yang memiliki senyum manis itu menguap, mulai didera kantuk karena dirundung rasa bosan, sorot matanya seolah tak berkedip menatap layar smartphone, hingga beberapa detik berikutnya telah terlelap pulas.

Lima belas menit berselang, pintu kamar Amara terbuka, diikuti langkah kaki berjalan masuk dari Susi Astuti. Wanita beranak satu itu memandang putrinya yang tengah tidur, lalu sorot matanya beralih ke handphone yang tergeletak di samping tubuh anaknya. Dia mendekat dan mengambil benda tersebut, memeriksanya sebentar sebelum menghapus semua pesan juga semua nomor pada kontak handphone. Setelah selesai, meletakkan benda tersebut secara terbalik di lantai, seakan terjatuh dari tempat tidur.

***

Kedua tangan Amara bergerak mengucek kelopak mata saat telinganya mendengar suara adzan subuh. Ia menguap sambil membuka mata, lalu perlahan beranjak dari tempat tidur untuk berwudhu. Namun, semua rasa kantuknya sirna tatkala mendapati handphone miliknya tergeletak di lantai. Amara kaget, dengan cepat turun dari tempat tidur dan mengambil handphone. Selanjutnya, menyalakan benda pipih kotak tersebut sembari berharap bahwa tidak rusak.

Gadis berwajah cantik itu membuang napas lega saat smartphone miliknya masih menyala serta berfungsi normal, tapi, perasaan lega hanya bertahan beberapa detik setelah menyadari semua nomor juga pesan pada handphone kosong. Ia melempar benda itu ke lantai, lalu terduduk lemas sambil memeluk lutut dan terisak, berpikir jika semalam pasti Owen membalas pesannya.

Bunyi ketukan pelan pada pintu dan suara halus seorang wanita menarik perhatiannya. "Amara, bangun udah pagi!" seru Susi Astuti dari luar kamar.

"Iya, Bunda," sahut cepat pemilik nama dengan suara serak. Segera berdiri sambil menghapus air mata di wajahnya, lalu melangkah pelan keluar kamar.

"Ada apa, Sayang?" tanya Susi Astuti ketika anaknya keluar dari kamar dengan raut muka sedih. Sedangkan Amara hanya menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Bunda." Sesudah itu berjalan menuju ke kamar mandi.

Susi Astuti tersenyum puas dalam hati, berharap kalau cara ini berhasil memisahkan Amara dengan Owen, sekaligus menjodohkan anaknya dengan Bintang. Mungkin, sebagai ibu hal ini terlihat kejam, tetapi semua dilakukan olehnya demi kebahagiaan sang anak.

****

Dua minggu sudah berlalu, kaki Amara sudah sembuh dan dapat beraktifitas normal serta mulai kembali bekerja. Selama itu pula dirinya sama sekali tidak lagi berhubungan dengan Owen, pasalnya pemuda tersebut sudah tak lagi menghubungi. Amara menyakinkan diri sendiri untuk melupakan segala hal tentang temannya.

Ia yang hari ini shift siang harus pulang malam, tetapi sebelum sampai di rumah menyempatkan diri singgah ke mini market untuk membeli beberapa cemilan. Namun, tatkala keluar dari mini market secara tidak sengaja bertemu dengan temannya. Gadis berparas ayu itu terkejut, mematung di tempat sambil terbata-bata menyebut nama temannya. "O ... Ow ... Owen!"

Owen pun bergeming sembari menatap wajah Amara tanpa sanggup berkata-kata. Bola matanya melirik ke arah kursi yang ada di teras mini market, lalu mengajak temannya untuk duduk sambil berbicara. Kini, kedua lawan jenis itu sudah duduk bersebelahan, tetapi masih canggung untuk saling berbincang.

"Owen!"

"Amara!"

Keduanya saling memanggil nama secara bersamaan sambil memandang, kemudian sama-sama tertawa kaku. "Hehehehe ...."

"Kamu dulu," tutur Amara sambil menunduk malu.

"Ladiest first," balas Owen dengan menatap intens wajah Amara, diikuti detak jantung yang tak normal.

"Kamu ... ke mana aja selama ini? Kenapa gak pernah balas pesan dan angkat telepon dariku?" Amara bertanya ragu, takut jika temannya tersinggung.

Owen masih tetap melihat wajah Amara, sebelum menundukkan pandangan sembari berkata. "Maaf ... aku hanya takut berharap terlalu dalam."

Sedangkan gadis itu dirundung bingung dengan menatap lawan bicaranya, sama sekali tak mengerti maksud ucapan temannya. "Sebenarnya ada apa sih?" tanyanya.

Owen mengulas senyum kecil sebelum mulai menjelaskan hal yang dilihatnya ketika pagi hari datang ke Rumah Sakit. Sementara Amara terkejut akan penuturan laki-laki itu, tetapi merasa sedikit aneh, sebab tidak menerima bubur ayam dari siapapun. Ia curiga, bahwa semua ini ada sangkut pautnya dengan ibunya. Kemudian, menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi ketika dirinya ada di Rumah Sakit.

Raut muka pemuda itu berubah selepas mendengar penjelasan Amara, terkejut bahwa ada orang yang ingin mencelakai temannya. Dia membuang napas, lalu memandang Amara. "Sekarang kita gimana ...?"

"Entahlah." Amara menjawab sambil menggelengkan kepala dan mengangkat kedua bahu.

Mereka terdiam sejenak dan larut dalam pikiran, sebelum salah satu dari keduanya membuka suara. "Kamu kapan libur?"

"Besok aku libur," sahut cepat Amara seraya menatap Owen untuk menunggu kalimat berikutnya.

"Besok main yuk?" ajaknya. Yang disambut dengan penuh antusias. "Boleh, jam berapa?"

"Emmm ... jam sepuluh," timpal pemuda berparas tampan. Amara mengangguk dan berkata. "Setuju." Keduanya terus saling menatap dan melempar senyuman, hingga akhirnya harus berpisah karena waktu telah larut malam.

Pemuda itu melambaikan tangan ketika temannya pergi meninggalkan mini market. Sedangkan ia harus masuk dulu ke dalam mini market untuk membeli rokok, selanjutnya melenggang pergi dari tempat tersebut untuk pulang ke rumah. Owen mengendarai sepeda motor dengan kecepatan normal, tidak ingin terburu-buru sampai di rumah sebab masih ingin menikmati suasana malam. Tiba-tiba ketika di persimpangan jalan raya sebuah mobil melaju kencang dari arah sebelah kiri. Ia terkejut serta terlambat mengerem, sehingga mobil itu menabraknya sampai terpental keras jatuh di aspal.

Bruuugghh!

Owen terlempar dari sepeda motor, tubuhnya kesakitan dan penuh luka karena membentur aspal dengan keras. Pandangan matanya kabur, lalu setelah berteriak minta tolong langsung pingsan.

"Tooo ... loong!"

****

Unperfect StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang