Kecewa.

12 3 3
                                    

Owen bingung akan penuturan Alyssa yang ingin investasi uang, sebab usahanya hanyalah jual-beli barang-barang online yang menggunakan aplikasi sosial media. Ia pun ingin memastikan kalau temannya sedang tidak bergurau. "Apa kamu yakin?"

Alyssa menganggukkan kepala dengan mantap, lalu berkata. "Jadi ... nanti aku akan memberikan uang padamu untuk membeli beberapa barang dan menyewa tempat."

"Menyewa tempat?" tanya Owen sambil mengerutkan kening.

"Iya," balas gadis itu.

"Untuk apa sampai menyewa tempat?" Ia kian bingung pada pemikiran temannya, tapi sejujurnya tertarik akan penawaran tersebut.

"Jadi nanti kita bisa sewa tempat untuk melebarkan usaha. Meskipun berbisnis secara online, tetapi harus tetap memiliki kantor," terang Alyssa.

Owen kagum dengan pola pikir temannya sekaligus merasa insecure, sebab Alyysa pernah bercerita tentang kuliah di luar negeri, berbeda dengan dirinya yang hanya lulusan sekolah menengah kejuruan. Dia memandang lekat-lekat gadis itu. "Alyssa, apa kamu yakin dengan keinginanmu?" tanyanya sekali lagi memastikan, kemudian menghela napas sambil membuang pandangan sebelum kembali menatap lurus ke depan. "Aku tidak ingin membuatmu kecewa. Apalagi mungkin nanti usaha kita tidak seperti yang kamu harapkan, alias merugi." Owen berkata seperti itu karena tidak ingin temannya menaruh harapan tinggi padanya.

Sementara Alyssa hanya mengulas senyum kecil sembari tak berkedip menatap Owen. Dia melihat perubahan raut muka temannya yang menjadi sedih sambil sedikit menundukkan pandangan ketika berbicara, dari situlah mengerti bahwa temannya sering menerima diskriminasi karena berasal dari kalangan bawah. "Tidak apa-apa," tutur perempuan berparas cantik, "yang namanya bisnis pasti ada untung dan rugi."

Perkataan dari temannya memang benar, dan Owen memahami hal itu, tapi tetap ada hal yang membuatnya ragu. Ia mengangkat memandang Alyssa, lalu menghela napas serta menjelaskan. "Aku ... cuma takut membuatmu kecewa." Sebenarnya, dalam hati tergiur akan penawaran dari Alyssa, akan tetapi juga harus memikirkannya lebih matang sebelum mengambil keputusan.

Alyssa masih memandang Owen sambil tetap tersenyum, tangan kanannya lalu bergerak meraih tangan pemuda itu dan menggenggamnya lembut. "Kamu tidak perlu khawatir, aku yakin pasti bisnis kita berjalan lancar," paparnya. Sedangkan laki-laki tersebut terharu sampai tidak sanggup berkata-kata.

"Bukan itu saja," sambung gadis berusia dua puluh satu tahun, "aku juga akan mempromosikan barang yang kita jual di akun sosial media milikku."

"Terima kasih." Hanya itu yang keluar dari mulut Owen, bingung harus berkata apalagi kepada temannya.

"Tapi ...." Tiba-tiba Alyssa kembali berbicara, disusul menarik tangannya mundur dan menelisik tajam ke depan. Owen yang melihat perubahan mimik wajah serta sikap Alyssa menjadi gelisah, hanya berharap pada perempuan itu sedang tidak bercanda.

"Aku ingin namaku ada di bisnis kita," tambahnya kemudian. Sedangkan Owen langsung mengembuskan napas lega mendengar hal itu, bersyukur bahwa pikiran buruknya ternyata salah.

"Baik, nanti di rumah aku pikirkan nama bisnis kita," sahut pemuda berparas cukup tampan.

Selesai membahas urusan bisnis, kedua orang itu kemudian mulai menikmati makanan juga minuman seraya mengobrol ringan. Sesekali bertukar cerita lucu yang membuat mereka saling tertawa. Hingga tak terasa lebih dari tiga jam keduanya sudah duduk bersama, Alyssa mengeluarkan smartphone dari dalam tas kecil untuk melihat waktu, lalu ganti memandang Owen.

"Kurasa sudah waktunya untuk pulang," cakap gadis itu, yang dibalas anggukan kepala lawan bicaranya. "Iya benar, sudah hampir larut malam." Disertai tangan kanan yang merogoh saku celana dan mengeluarkan dompet, tapi saat hendak mengeluarkan uang untuk membayar, Alyssa lebih dulu berkata padanya.

"Tidak usah, semua udah aku bayar."

Owen tak enak hati, merasa dihargai tetapi juga direndahkan. Lalu, teringat jika memiliki suatu benda yang ada di dalam tas kecilnya, segera mengambil benda itu dari dalam tas serta memberikan pada Alyssa. "Aku cuma ada ini, kuharap kamu mau menerimanya." sambil memberikan sebuah gelang."

Alyssa menerima gelang itu dengan senang hati sembari berkata riang. "Terima kasih." Dari raut mukanya tergambar jelas kebahagiaan, hal yang sama terlukis di wajah Owen.

****

Setelah berpisah dengan Alyssa, ia ingin segera pulang untuk beristirahat, tetapi saat hendak menaiki sepeda motor melihat seorang gadis berdiri sendirian di dekat kafe. Owen penasaran, lantas berjalan mendekat. "Menunggu jemputan, Mbak" tanyanya ramah ketika sudah berada di dekat perempuan itu.

Gadis itu menengok ke samping, lalu mengangguk pelan kepala sambil tersenyum kecil. "Iya, Mas. Ini nunggu taksi online." Merasa jika pemuda yang menyapanya ingin modus mengajak berkenalan.

Owen sama sekali tak mengenal perempuan itu, tapi tadi sempat bertabrakan ketika berada di kafe. Melihat pakaian perempuan tersebut yang seksi, secara refleks dirinya melepas jaket dan memberikan pada gadis yang tak diketahui namanya. "Ini Mbak, pakai jaket saya aja." Pasalnya, mendapati perempuan itu sedang menahan hawa dingin dari udara malam.

Nadia mengernyitkan kening seraya memandang heran, merasa kalau pemuda yang ada di depannya itu terlalu modus padanya. Dia hendak menolak, tetapi lelaki itu kembali berbicara. "Jaket saya harum kok." Nadia kian bingung dan terpaksa menerima jaket. Sedangkan Owen hanya mengulas senyum kecil sebelum berpamitan serta melangkah pergi. Jujur, dirinya tidak mempunyai maksud apapun ketika memberikan jaket, hanya sekadar ingin menolong agar perempuan itu tak kedinginan.

"Tunggu!" seru Nadia yang menghentikan langkah kaki Owen. "Siapa namamu?" tambahnya.

Ia menengok ke belakang, sambil melempar senyum kecil berkata. "Orang-orang memanggilku Owen."

"Namaku Nadia," terang gadis berpakaian seksi dengan sedikit berteriak.

Owen hanya mengangguk mendengar kalimat tersebut, lalu melambaikan tangan dan melenggang pergi dengan menaiki sepeda motor. Sementara Nadia hanya terpaku di tempat sambil terus memandang laki laki yang baru dikenalnya. Sorot matanya berganti menatap jaket milik Owen yang berada di tangannya, kedua sudut bibirnya terangkat naik ketika merasa aneh dengan kejadian ini. Ia terus tersenyum sampai taksi online yang dipesannya datang.

Keesokan Pagi.

Pukul sembilan pagi Owen datang ke Rumah Sakit sambil membawa bubur ayam untuk menu sarapan Amara juga ibunya. Namun, pemuda itu bergeming di depan pintu saat melihat Amara sedang berbincang akrab dengan mantan kekasihnya. Ia menjadi ragu untuk masuk, pasalnya mendapati Amara sedang tertawa lepas dan nampak senang. Tak ingin mengganggu kesenangan temannya, maka memilih meletakkan bubur ayam di depan pintu sambil menempelkan secarik kertas dengan tulisan. 'Cepat sembuh temanku.' Sesudah itu, berjalan pergi dari Rumah Sakit.

Tak berselang lama, Susi Astuti datang seraya menenteng kantung plastik yang berisi lauk untuk sarapan. Langkah kaki perempuan berusia tiga puluh tiga tahun itu terhenti saat mendapati ada kantung plastik tergeletak di depan pintu. Dia lalu berjongkok seraya melihat ke dalam kantung plastik, tersenyum sinis sebelum berdiri seraya mengambil kantung plastik tersebut. Selanjutnya, membuang benda itu ke tempat sampah serta segera berjalan masuk ke dalam ruangan. Raut mukanya seperti tak berdosa ketika melakukan tindakan tersebut.

****

Unperfect StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang