Rumah Sakit.

9 3 2
                                    

Di ruang Unit Gawat Darurat, Amara segera mendapatkan pertolongan pertama, luka lecet pada lengan kirinya segera diobati, tetapi untuk pemulihan rasa sakit di pergelangan kaki kanan membutuhkan waktu sekitar dua sampai empat hari, sebab kaki kanannya terkilir. Ia sebenarnya bisa langsung pulang ke rumah setelah perawatan pada lukanya selesai, akan tetapi, Bunda dan Bintang bersikeras memaksa dirinya untuk menginap setidaknya satu malam. Amara yang tidak ingin membantah keinginan sang ibu hanya mampu menurut.

Baru dua jam berada di Rumah Sakit ia sudah bosan, apalagi hanya berbaring tanpa ada kegiatan. Amara melalui sudut matanya melihat sang bunda yang duduk di sebelahnya sambil bermain handphone, gadis itu pun ingin melakukan hal serupa, kemudian segera berganti posisi duduk di atas tempat tidur. "Bunda," lirihnya. Si pemilik nama menoleh ke samping seraya bertanya. "Ada apa? Kamu lapar?"

Amara menggeleng lemah sambil menunjukkan wajah memelas. "Handphone Amara mana?" Dengan ikut membuka kedua telapak tangan seperti sedang mengemis.

"Kamu istirahat aja. Jangan mainan handphone mulu!" ketus Susi Astuti. Selesai berbicara, kembali beralih menatap layar handphone, diikuti jari-jemari mengetik pesan obrolan di grup arisan online.

Amara cemberut, merasa sebal pada ibunya seraya menatap iba. Kemudian, mengembuskan napas pasrah sebelum  berbaring lagi di ranjang, berusaha untuk tertidur walau tidak mengantuk. Namun, ketika memejamkan mata benaknya malah memikirkan Owen, merasakan kerinduan pada temannya.

***

Owen sudah tiba di Rumah Sakit, selepas memarkir motor segera berjalan masuk dan hendak bertanya pada beberapa perawat. Namun, hal itu batal diakukan karena melihat sosok yang dikenalnya, langsung berteriak memanggil seraya berjalan menghampiri. "Hei, kau!"

Merasa ada seseorang yang memanggilnya, Bintang membalikkan badan dan melihat seorang laki-laki berjalan ke arahnya. Ekspresi wajah dan sorot matanya seketika berubah kesal. "Ada apa?" tanyanya angkuh sambil kedua tangan menyilang pada dada.

Owen merasa muak akan sikap angkuh pemuda itu, tetapi harus mengalah dan menekan egonya, sebab mempunyai firasat jika laki-laki yang ada di depannya mengetahui ruangan Amara dirawat. "Apa kau tahu Amara berada di ruangan mana?" tanyanya halus serta sopan.

"Aku tidak akan memberi tahu dirimu!" decak Bintang. Tak henti menatap tajam lawan bicaranya sembari tetap memasang sikap angkuh. Dia lalu mengusir Owen untuk pergi dari Rumah Sakit dan tidak perlu menemui Amara.

"Lebih baik kau pulang saja!"

Owen yang awalnya menahan sabar serta menekan harga dirinya langsung berubah marah saat mendengar kalimat itu. Mimik wajah yang sebelumnya ramah seketika berganti garang diiringi sorot mata ganas. Lalu, secara cepat tangan kirinya bergerak mencengkeram kuat bahu Bintang hingga pemuda itu meringis kesakitan. Sementara tangan Bintang ikut bergerak untuk melepaskan cengkeraman pada bahunya. "Apa maumu!" tantangnya sambil menatap lawan bicaranya penuh amarah.

"Di mana ruangan Amara!" tegas Owen yang tak kalah ganas menatap Bintang.

Dua laki-laki itu saling beradu tajam pandangan sembari masing-masing tangan terkepal kuat, hanya tinggal menunggu waktu untuk saling bertukar bogem mentah. Namun, sorot mata dan raut muka Bintang tiba-tiba berubah lunak, disertai membuang napas kasar. "Dia ada di ruang mawar nomer tujuh belas," tandasnya. Lalu tanpa berbasa-basi menyingkir pergi.

Owen tidak berkata apapun saat laki-laki itu pergi, segera melangkahkan kaki menuju ruangan Amara. Setelah bertanya pada seorang suster tentang letak ruangan tersebut, sampailah dirinya di ruang rawat yang dituju. Pemuda berparas tampan itu mengatur napas seraya menguatkan tekad, pasalnya tahu jika di dalam ruangan terdapat orang tua Amara yang tidak suka padanya. Dengan pelan tangan kanannya mengetuk pintu diikuti mulut berujar salam.

"Permisi ...."

"Iya ... sebentar." Suara menyahut dari dalam ruangan. Tak berselang lama pintu pun terbuka dan menampilkan seorang wanita berusia tiga puluhan.

Nada lembut serta mimik wajah ramah dari Susi Astuti seketika berubah saat melihat tamunya. Ibu satu orang anak itu sebenarnya ingin langsung mengusir laki-laki tersebut, tetapi karena merasa sedikit tidak tega maka mengijinkan bertemu putrinya. "Ayo silakan masuk," tutur Susi Astuti berpura-pura ramah.

Pemuda itu senang sebab tak salah ruangan, tapi, dua detik berikutnya raut mukanya berganti tegang disertai jantung berdebar-debar. "Amara ada Tante?" tanya Owen dengan suara lembut juga sopan. Merasa takut jika tidak diberi ijin untuk menjenguk temannya. Namun, ibu dari temannya itu malah mempersilakan untuk masuk, ia mematung sesaat karena sedikit tidak percaya, sebelum mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan.

Di dalam ruangan, Amara yang masih berusaha untuk tidur mendengar suara ibunya sedang berbicara. Dia pun kini diselimuti rasa penasaran tentang lawan bicara sang ibu, sesudah itu kembali mendengar bunyi langkah kaki mendekat.

"Amara bangun, ada tamu," panggil Susi Astuti yang tahu kalau putrinya hanya pura-pura tidur.

Si empu nama perlahan membuka mata, melihat di belakang ibunya terdapat Owen yang sedang tersenyum padanya. Sontak, mimik wajah kusut Amara langsung berganti cerah disertai bibir mengukir senyum manis. Namun, tiba-tiba Susi Astuti membuka mulut sebelum membiarkan dua orang itu saling berbicara. "Sayang ... Bunda mau ke kantin sebentar." Yang dibalas anggukan kepala anaknya. "Iya, Bunda." Selanjutnya, perempuan tiga puluh tiga tahun itu keluar ruangan untuk mencari udara segar.

****

Owen langsung menyapa Amara tatkala Susi Astuti sudah pergi dari ruangan. "Hai ...." Yang dibalas dengan senyuman manis oleh gadis yang sedang terbaring. "Hai juga."

Ia kemudian mendekat dan duduk di samping Amara sambil memberikan buah tangan. "Ohh iya, aku bawa jeruk buat kamu." Yang diakhiri dengan kalimat pertanyaan. "Kamu sakit apa sampai masuk Rumah Sakit?"

"Maaf bikin kamu repot," sahut gadis itu. Lalu berganti posisi menjadi duduk, disusul mulai menjelaskan kronologis kecelakaan yang terjadi padanya.

Raut muka Owen menjadi sedih sekaligus marah setelah mendengar penuturan Amara, tak menyangka ada seseorang yang begitu jahat ingin melukai bahkan membunuh temannya. Dia lalu memberikan respon. "Kamu yang sabar dan jangan khawatir karena mulai sekarang aku akan terus menjagamu." Sembari tangan kiri mengelus lembut kepala gadis itu. Di sisi lain, Amara membalas perkataan temannya dengan mata berkaca-kaca dan raut muka sedih, tapi ketika tangan pemuda tersebut yang mengelus kepalanya, ia merasa malu serta menjadi salah tingkah.

"Kamu mau makan jeruk? Aku yang kupasin kulitnya," tanya Owen yang dibalas Anggukan kepala lawan bicaranya.

Ia segera mengambil satu buah jeruk dari kantung plastik seraya mengupas kulitnya, sesudah itu mulai menyuapi Amara. Sedangkan gadis berparas ayu itu kian tersipu malu, bahkan hanya menundukkan pandangan tanpa berani memandang wajah laki-laki yang ada di dekatnya. Jantung Amara berdegup kencang layaknya bom waktu yang siap meledak, diiringi perasaan hangat dan nyaman yang mengalir keluar dari lubuk hatinya.

"Apakah aku jatuh cinta?" gumamnya dalam hati.

***

Di taman, Bintang sedang duduk sambil menelpon anak buahnya dengan marah-marah. Kata-kata kasar juga kotor keluar dari mulut pemuda itu, pasalnya tadi sangat terkejut melihat Owen datang ke Rumah Sakit dalam keadaan sehat dan bugar. Ia tidak mau tahu lagi, memberi perintah kepada anak buahnya agar lain kali tidak gagal menghancurkan laki-laki tersebut.

"Aku takkan membayar kalian jika gagal lagi! ancamnya keras.

****

Unperfect StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang