Alyssa melangkah turun dari mobil sembari memberi perintah pada supirnya untuk pulang. Sedangkan Owen yang lebih dulu keluar dari mobil merasa bingung dan pertanyaan. "Kau ... mengapa menyuruh supirmu pergi?"
Gadis itu hanya tersenyum ringan sebelum menjawab. "Kan nanti kamu mau antar aku pulang."
Owen mendesah lesu sambil menepuk keningnya dengan tangan kanan, kemudian, mengajak perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan masuk tanpa berbicara, karena masing-masing bingung untuk memulai topik obrolan. Lalu, setelah membuka pintu, ia mempersilakan tamunya itu untuk masuk.
"Masuklah, tapi jangan anggap rumah sendiri."
"Iya," balas gadis berusia dua puluh satu tahun sambil sedikit cemberut menatap temannya.
"Mau minum apa?" tawar Owen setelah keduanya berada di dalam rumah.
Alyssa termenung sesaat, ingat percakapan terakhir dirinya dengan pemilik rumah. "Yang ada saja," jawabnya singkat, pasalnya mengira kalau yang ada di rumah temannya cuma air putih.
"Tunggu sebentar," titah empu rumah, juga meminta tamunya untuk duduk terlebih dulu.
Ia pergi ke kamar guna berganti pakaian, selanjutnya kembali ke ruang tamu dengan membawa dua gelas es teh manis. "Kamu doyan es teh kan?" tanyanya sambil meletakkan minuman tersebut ke meja.
Alyssa mengerutkan kening sembari menyipitkan mata memandang tuan rumah. "Apa baru saja kamu meledekku?" Namun, pertanyaan darinya tak mendapat jawaban, sebab Owen hanya menunjukkan dua sudut bibirnya yang terangkat naik. Alyssa mendengus, tangannya meraih gelas dan meminum es tersebut hingga tinggal setengah. "Puas?!" tegasnya.
Di sisi lain, melihat tingkah menggemaskan tamunya membuat Owen kian tidak bisa membendung tawanya, mulutnya terbuka dan mulai tertawa sampai perutnya terasa sedikit sakit.
Alyssa sebal ditertawakan dan memandang aneh ke tuan rumah, tetapi, hatinya merasakan gejolak perasaan senang juga tenang tanpa adanya tekanan. Baginya, selama ini selalu hidup dengan penuh tekanan, tidak dapat melakukan hal hal sesuai inginnya. Namun, saat bersama Owen, merasa seperti menjadi diri sendiri, bebas tanpa mempedulikan penilaian orang-orang. Sebagai putri semata wayang dari pengusaha terkenal, tingkah laku serta sikap Alyssa sudah diatur sejak kecil, bahkan orang-orang yang menjadi temannya pun ditentukan oleh keluarganya, selama ini dirinya terkekang, akan tetapi tidak memiliki keberanian untuk sekadar menyampaikan keluh kesahnya.
Owen berhenti tertawa sambil menatap Alyssa lekat-lekat, merasa bahwa perempuan cantik dengan tingkah menggemaskan itu sebenarnya adalah gadis baik, hanya saja sikapnya perlu sedikit diubah. Ia masih menatap gadis yang sedang melamun tersebut, lalu tersenyum sembari mengulurkan tangan.
Alyssa tersadar dari lamunan, mengangkat sebelah alisnya seraya memandang aneh. "Ada apa?"
"Kita mulai pertemanan dari awal secara benar," terang pemuda itu.
Sebuah perasaan hangat seperti mengalir keluar dari lubuk hati, seolah belenggu yang selama ini mengikat hatinya sudah sedikit terlepas. Bola matanya berkaca-kaca, hingga tanpa sadar air matanya sudah ikut mengalir keluar. Untuk pertama kali bagi Alyssa ada seseorang yang mau berteman dengannya secara tulus, tanpa peduli latar belakang keluarganya. Alyssa terharu hingga kesulitan berhenti menangis.
Mendapati gadis yang ada di hadapannya menangis, menyebabkan Owen merasa melakukan kesalahan dan menjadi bingung. Dia kemudian berpindah tempat duduk di samping Alyysa sambil menyentuh kedua bahu temannya juga bertanya. "Kamu kenapa?"
Si pemilik nama menoleh, lalu dengan terisak dia menjelaskan tentang hidupnya selama ini yang mempunyai banyak aturan. Sedangkan Owen hanya diam mendengarkan keluh kesah hati temannya, tak mampu berbuat apapun selain menjadi pendengar yang baik. Dari cerita tersebut juga tahu bahwa menjadi anak dari keluarga kaya tidaklah selalu menyenangkan.
***
Di tempat lain, Nicholas Right Kiehl tidak fokus bekerja selepas mendengar laporan dari anak buahnya melalui sambungan telepon. Pria tiga puluh sembilan tahun itu merasa khawatir tentang keadaan putrinya, takut jika laki-laki yang berteman dengan anaknya memiliki niat buruk. Ia mendengus kasar sambil mengumpat kesal. "Sial!" Lalu, sorot matanya tertuju pada bingkai foto keluarga yang ada di atas meja kerja. Perasaan kesal juga khawatir sedikit berkurang dan berganti rasa sedih, teringat akan mendiang istrinya yang telah lama meninggal.
Ia berhenti memandangi foto bingkai keluarga, menghela napas dan teringat akan putri semata wayangnya, yang menjadi alasan bertahan di dunia, jika tidak, pasti sudah mengakhiri hidup guna menyusul almarhumah istrinya.
Aahhh ....
Ia mendesah sedih seraya menahan air mata agar tidak tumpah. Selanjutnya, menelpon anak buahnya untuk segera datang padanya. Tak kurang dari tiga menit sudah terdengar bunyi ketukan pada pintu ruang kerjanya.
"Permisi, Bos."
"Masuklah!" sahut Nicholas dari dalam ruangan.
Pintu pun terbuka, menampilkan dua pria berpakaian rapi serta memiliki badan berotot berjalan masuk. Setelah berdiri tepat di hadapan sang bos, salah seorang diantara mereka membuka mulut.
"Ada apa, Bos?"
Nicholas bergantian memandang dua anak buahnya, lalu memberi perintah. "Aku ingin kalian awasi laki-laki yang menjadi teman Alyssa, kalau dia macam-macam atau memiliki tujuan buruk, langsung sapu bersih saja!"
"Siap Bos!"
Sesudah itu, mereka hendak keluar ruangan, akan tetapi suara Nicholas menghentikan langkah kaki dua pria tersebut. "Bambang!" panggilnya.
"Iya Bos," sahut cepat si empu nama.
"Suruh satu anak buahmu menyelidiki latar belakang pemuda itu," sambungnya.
"Siap Bos," Balas Bambang. Setelah itu Bambang bersama rekannya berjalan pergi dari ruangan dan pintu kembali tertutup.
Sedangkan di dalam ruangan, Nicholas berusaha kembali fokus pada pekerjaannya, sudah tidak lagi terlalu risau memikirkan Alyssa, pasalnya dua orang anak buahnya tadi dapat diandalkan, meskipun tugas sebelumnya sempat gagal.
***
Alyssa telah usai menceritakan kisah hidupnya, air matanya sudah berhenti mengalir dan suasana hatinya sedikit membaik. Lalu, menatap Owen sambil berkata. "Terima kasih." Sementara empu nama itu hanya tersenyum ringan sembari tangan kanannya mengelus lembut kepala Alyssa.
Alyssa merasa senang akan sentuhan lembut Owen pada kepalanya, mengira kalau tuan rumah itu suka dan menaruh hati padanya. Dia tersipu malu, memalingkan muka karena pipinya memerah.
"Kamu lapar?" Owen bertanya seraya menarik tangannya dari kepala Alyssa.
Gadis itu hendak menggelengkan kepala, tapi bunyi dari perutnya lebih dulu terdengar. Ia langsung menundukkan wajah karena malu. Sedangkan Owen mencoba menahan diri agar tidak tersenyum, walaupun dalam hati sedang tertawa keras.
"Tunggu di sini, akan kubuatkan nasi goreng untukmu," ucapnya. Kemudian, berdiri dan akan melangkah ke dapur, tapi, langkahnya dihentikan oleh suara Alyssa. "Boleh aku membantumu?" tanyanya ragu-ragu sambil masih tetap menundukkan muka.
Owen hanya tersenyum seraya menoleh ke belakang, mengulurkan tangan serta berkata. "Ayo."
Perlahan gadis itu mengangkat pandangan, tersenyum manis sebentar sebelum menyambut uluran tangan. Degup jantungnya sangat keras, sebab dirinya sama sekali tidak bisa memasak.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Story
Ficção Geral[Update setiap senin] Tiga tahun berlalu kehidupan Amara sudah kembali normal, sosok yang selama ini ada di hatinya sudah sepenuhnya menghilang. Namun, sosok itu kembali datang dan membawa beribu kenangan, mungkin disertai juga perasaan Amara yang p...