Tepat pukul setengah delapan malam Owen sudah mengantarkan Alyssa sampai depan gerbang rumahnya. Lalu, gadis itu segera turun dari sepeda motor seraya berterima kasih. "Makasih ya." Owen membalas kalimat tersebut hanya dengan senyuman kecil sebelum berpamitan serta melenggang pergi.
"Aku pulang dulu."
"Iya, hati-hati di jalan," tukas Alyssa. Kemudian, terdengar bunyi mesin sepeda motor diikuti pemiliknya yang pergi dari lokasi.
Tak berselang lama, pintu gerbang terbuka dan menampilkan dua pria penjaga gerbang yang menyambut putri tuan rumah mereka. Berbeda dari biasanya, Alyssa menatap dua anak buahnya sambil melempar senyum hangat lalu berjalan masuk, yang menyebabkan kedua pria itu heran. Putri dari Nicholas tersebut terus berjalan riang masuk ke dalam rumah, tetapi suasana ceria hatinya mendadak berubah suram tatkala mendapati sang ayah sedang duduk di ruang tamu menunggunya.
"Dari mana?" tanyanya dengan sorot mata tajam dan nada suara berat.
Alyssa menahan napas sambil menelan saliva. "Dari rumah teman, Yah," jawabnya halus seraya sedikit menunduk. Menghindari tatapan tajam yang tertuju padanya.
Salah satu sudut bibir Nicholas terangkat, lalu menyuruh anaknya segera pergi ke kamar. "Ya udah, kamu langsung ke kamar dan istirahat."
"Iya Yah," timpal gadis itu, berjalan melewati sang ayah dan menaiki anak tangga sebelum masuk ke dalam kamar. Di kamar, ia mengembuskan napas lega karena melihat respon ayahnya yang sama sekali tidak menunjukkan kemarahan.
Alyssa menjatuhkan badannya ke tempat tidur sambil menghela napas panjang, juga mengingat waktu bersama Owen yang terasa sangat menyenangkan. Bahkan tak sadar kalau bibirnya mengulas senyuman lebar.
Beberapa jam sebelumnya.
"Kau yakin bisa masak?" tanya Owen sambil memandang tamunya dengan sorot mata ragu. Sedangkan Alyssa hanya membalas kata-kata itu dengan senyuman polos.
"Apa yang bisa aku bantu?"
Owen mengangkat satu alisnya, menatap Alyssa lekat-lekat sebelum memberi perintah. "Ya udah kamu ambil cobek dan ulekan."
"Cobek dan ulekan?" Perempuan itu menatap bingung. Pasalnya baru pertama kali mendengar nama benda seperti itu.
Kini, hal diragukan oleh Owen sudah terjawab. Dia membuang napas pelan sebelum berjalan mengambil cobek dan ulekan, lalu memilih beberapa bawang merah, bawang putih serta cabe, kemudian mulai menghaluskannya. Sementara Alyssa hanya mematung dan bingung untuk membantu. Ia mendekat pada Owen yang sedang sibuk membuat bumbu.
Sudut bola mata pemuda itu melihat Alyssa, kemudian menghentikan aktifitasnya sebentar sambil berkata. "Sekarang coba kamu lakukan ini."
"Oke," sahut Alyssa, merasa jika membuat bumbu bukan hal yang sulit. Namun, semua itu tak semudah yang dibayangkan olehnya, sebab harus berjuang keras untuk menghaluskan bumbu.
Lima belas menit berlalu, nasi goreng yang dimasak Owen bersama Alyssa belum matang, mereka malah berdebat di dapur. Owen merasa pusing dan harus berulang kali bersabar mengajari tamunya cara memasak. Namun, pada akhirnya setelah melalui banyak perjuangan, nasi gorengnya pun sudah matang.
Alyssa terkikik geli mengingat kejadian di rumah Owen, bahkan sampai tak bisa berhenti tertawa bahagia. Untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya dapat tertawa lepas.
Sedangkan di ruang tamu, Nicholas duduk santai sembari memandangi foto mendiang istrinya dari layar handphone. Bibirnya mengulas senyum kecil saat melihat putrinya yang baru pulang tadi terlihat sangat ceria, hal yang sudah lama tak dilihatnya. Dalam hati ia bersyukur, tetapi juga takut jika pemuda itu hanya mempermainkan Alyssa.
"Sayang, semoga caraku ini tidak salah." Dia bermonolog dalam hati.
****
Nadia Dewi Aryani merupakan perempuan berusia dua puluh satu tahun yang berprofesi sebagai model dewasa. Saat ini, sedang menghabiskan waktu malamnya di bar sembari menikmati alkohol. Sebagai model pakaian dalam, dirinya mempunyai modal wajah cantik serta tubuh seksi, yang mampu menaklukkan hampir setiap laki-laki. Namun, yang jadi ironis adalah bahwa hal itu tak berpengaruh pada calon tunangannya, seolah di hadapan Bintang dirinya merupakan perempuan rendahan.
Nadia meneguk habis alkohol dari gelasnya, lalu memanggil pelayan untuk memesan beberapa minuman keras lagi. Sepuluh menit berikutnya, dua pria berbadan kekar dan memiliki wajah garang mengambil posisi duduk di depannya. Dia memandang dua orang sekilas. "Aku ingin gadis itu diberi pelajaran!" titahnya.
Kedua pria itu saling bertukar pandangan sebelum mengangguk sambil satu orang memberikan jawaban. "Baik, tapi harganya naik."
"Tak perlu pikirkan biaya, berapa pun aku bayar asal perempuan jalang itu sengsara!" geram Nadia, sorot tajam matanya mengeluarkan hawa membunuh. Kemudian, tangan kanannya mengambil amplop cokelat yang berisi uang dan menyerahkan pada dua pria di depannya. Selepas menerima amplop, dua orang itu segera pamit undur diri, menyusun rencana untuk memberi pelajaran seorang gadis sesuai permintaan dari kliennya.
Di sisi lain, Nadia yang kembali sendiri melanjutkan menikmati malam dengan ditemani alkohol. Bibirnya menyeringai lebar, lalu berbicara dalam hati. "Kau akan rasakan hukuman karena berani menggoda kekasihku!"
****
Amara seharian mengurung diri di kamar akibat kesal terhadap sang bunda yang berlaku tidak sopan pada temannya, ia hanya keluar ketika makan malam, itu pun terpaksa karena perutnya sudah sangat lapar. Sebenarnya, ingin menelpon Owen untuk meminta maaf, tetapi ragu jika temannya itu akan dengan mudah memaafkannya. Amara menghela napas sembari mencoba menghubungi Owen, berharap kalau yang ditakutkan olehnya tidak terjadi, tapi, suara ketukan halus pada pintu membuatnya segera mematikan panggilan yang belum sempat tersambung.
"Amara ...," panggil lembut Susi Astuti.
"Iya Bunda. Ada apa?" Si empu nama menyahut cepat dari dalam kamar.
"Bunda boleh masuk?"
Amara beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu, membukanya serta melihat sang ibu sedang berdiri sambil tersenyum, sesudah itu dirinya kembali duduk di atas tempat tidur. Susi Astuti ikut melangkah masuk, terdiam sesaat sebelum membuka suara.
"Sayang ... Bunda minta maaf karena tadi bersikap seperti itu pada temanmu. Bunda kira orang tadi hanya montir bengkel."
Amara memandang Susi Astuti seraya mengulas senyum paksa. "Tidak apa-apa Bunda," tuturnya.
Ibu satu orang putri itu bernapas lega sebab anaknya tak lagi marah, kemudian duduk di samping Amara dan mulai bertanya. "Emang kamu kenal dia di mana?"
Amara menoleh ragu-ragu ke arah sang ibu, lalu memberanikan diri untuk mulai bercerita. Dia menjelaskan awal mula bertemu Owen, juga menceritakan aksi heroik pemuda itu padanya. Sementara Susi Astuti berpura-pura tertarik akan cerita anaknya, bahkan sesekali bertanya seolah penasaran.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Story
Ficção Geral[Update setiap senin] Tiga tahun berlalu kehidupan Amara sudah kembali normal, sosok yang selama ini ada di hatinya sudah sepenuhnya menghilang. Namun, sosok itu kembali datang dan membawa beribu kenangan, mungkin disertai juga perasaan Amara yang p...