4 Albino

2.1K 146 2
                                    

Elli masuk keruangan Rudy setelah mengetuknya tiga kali dan mendengar suara masuk dari dalam. Di tangannya terdapat data pasien hasil pengecekannya untuk di laporkan pada Rudy. Rudy hanya melirik sebentar ke arah Elli, dia sedang fokus membaca berkas pasien yang baru-baru ini ia tangani.

Hal ini tak di sia-siakan Elli, dengan leluasa dia dapat memperhatikan wajah serius Rudy yang menyejukan. Rudy mempunyai kelainan sejak lahir, yaitu tidak mempunyai pigmen dalam tubuhnya sehingga kekurangan melanin. Dari kulit, rambut, dan matanya terlihat pucat, atau kata lainnya penyakit Albino. Tapi, itu bukanlah kekurangan, melainkan menjadi daya tarik tersendiri. Uh, pahatan yang sempurna di mata Elli. Elli cengengesan sendiri membayangkan jika suatu saat dirinya dan Rudy mempunyai anak, pasti lucu-lucu.

"Mikir apa kamu?" Rudy menyentil kening Elli keras, membuat si empu mengaduh kesakitan.

"Ish Dok. Udin kebiasaan suka nyentil jidat." Elli mengerucutkan bibir kesal. Jidatnya sangat panas walau sudah di gosok berkali-kali.

"Pasti kamu mikirin yang bukan-bukan?" tuduh Rudi sinis. Tadi dia melihat Elli cengengesan sendiri. Dalam hatinya Rudy tidak dapat untuk tidak merinding ngeri.

"Enggak!" Elli menggeleng kuat. Enak banget Rudy menuduhnya yang tidak-tidak. Karena, menurutnya membayangkan suatu saat nanti dia dan Rudy mempunyai anak bukan pikiran jelek. Jadi, itu tidak bisa di sebut yang bukan-bukan, 'kan?

"Lalu kenapa tadi kamu senyum-senyum sendiri sambil liatin saya kaya orang yang punya motivasi tersembunyi?" Rudy masih keukeuh kalau Elli pasti berpikir kotor tentangnya. Awas saja kalau sampai itu terbukti, Rudy akan mengurangi nilai Elli karena telah berpikiran yang tidak pantas saat Koasnya.

Elli menghela nafas lelah. Rasanya dia cape karena selalu di pandang jelek oleh Rudy. Dokter tampan sejuta pesona itu kenapa tidak berpikiran baik saja tentang dirinya. Itukan bagus untuk nilainya kuliahnya plus nilai daftar untuk menemani Rudy di sisa usianya. Elli jadi kembali senyum-senyum sendiri kan jadinya. "Aku tadi cuma lagi membayangkan suatu saat kalau kita punya anak pasti lucu-lucu."

Rudy melotot. Otaknya tiba-tiba macet sampai kerongkongannya tersedak ludah. Apalagi dia baru saja melihat kembali Elli senyum-senyum gak jelas. Buru-buru Rudy meminum air putih yang sudah tersedia diatas meja. Setelah dirasa tenggorokannya lega , dia menyorot Elli agak tak berdaya."ke-kenapa kamu mikirin hal kaya gitu?" Dengan susah payah Rudy memeras suaranya agar terdengar biasa saja, padahal jantungnya bekerja extra memompa darah.

Elli mengedikan bahu santai. Dia melirik wajah Rudy yang memerah sampai keteling itu jahil. "Hayo, Dok. Udin kenapa mukanya merah?"

Rudy berdiri. Mengipasi wajahnya sendiri menggunakan berkas yang dia pegang. "Saya gerah. Memangnya kenapa?"

Elli melirik AC di dinding sebelah kanan. AC meninjukan angka 20° celsius. Benarkah Rudy masih kepanasan?. Sejurus kemudian senyum jahil muncul dari bibir Elli, " Dok. Udin pasti membayangkan yang iya-iya kan?"

"Sembarangan kamu!" Rudy membuang wajah untuk menyembunyikan rona diwajahnya yang menjadi tatapan jahil Elli. "Tolong kamu cek keadaan pasien nomor ruangan 56! Saya harus menyelesaikan dulu berkas ini."

Elli tau Rudy kini tengah malu. Maka, demi mengabadikan ini, dia sengaja memotret Rudy diam-diam menggunakan Handphon. "Karena Dokter Rudy sudah memerintah, saya siap laksanakan." Elli berdiri, namun dia belum beranjak saat berucap.

"Kalau Dok. Udin suatu saat jatuh cinta sama aku, jangan gegana bila menyadari perasaannya setelah aku pergi. Eh tau-tau aku udah nikah dengan orang lain dan hidup bahagia." Elli berkata santai.

Rudy tertawa meremehkan. " jika suatu saat saya jatuh cinta, itu jelas orangnya bukan kamu." Rudi kembali menormalkan nada bicaranya. Sedikit hatinya tercubit tak senang ketika membayangkan Elli akan menikah dengan orang lain.

Elli mengangguk membenarkan perkataan Rudy, karna dia sendiri sadar siapa dirinya. "Tapi... aku tetap akan berusaha kok membuat Dok. Udin cinta. Tapi kalau Dok. Udin tetep gak cinta, ya siap-siap saja dikintilin kemana-mana sampai orang-orang nyangka kayak anak Ayam ngintil induknya." Elli cengengesan diakhir ucapannya.

Elli buru-buru berlari keluar ketika melihat Rudy membuka mulut untuk membalasnya. Namu, sebelum Elli memegang Hendel pintu, Rudy memanggilnya kembali, sehingga mau tidak mau Elli membalikan badannya lagi. "Ada apa Dok. Udin?"

"Mamah nanyain kamu. Katanya, kapan kamu nginap lagi di rumah!" Rudy teringat Mamahnya yang selalu menanyakan Elli dan selalu menyuruhnya untuk membawa Elli pulang. Namun, karena situasi yang tidak memungkinkan jadi Rudy hanya bisa menjawab nanti.

Elli menggaruk rambutnya yang tertutup jilbab. "Emangnya boleh?"
Rudy berdiri menghampiri Elli yang berdiri di depan pintu. "Sebenarnya masih tidak boleh sampai kamu selesai Koas."

"Kalau begitu tolong katakan sama Mamah! Aku mainnya kapan-kapan saja kalau ada libur." Elli menjawab sambil meringis membayangkan Mamah Devi, Mamahnya Rudy ngamuk karena dia tidak langsung menemuinya.

Rudy yang menangkap raut khawatir di wajah Elli, mengangkat tangannya untuk mengelus pelan puncak kepala Elli bermaksud menenangkan. "Nanti saya sampaikan. Kamu juga tidak usah khawatir gini!" Tangan Rudy turun mengusap pipi Elli. "Saya pasti akan menjelaskannya nanti sama Mama."

Wajah Elli sukses merona karena mendapt perlakuan manis dari Rudy. "Aduh Dok. Udin. Kalau Dok. Udin semanis ini, jantung aku deg deg-an nya makin keras tau." Elli mencicit sambil menunduk malu. Warna merah jambu di wajahnya bahkan kini sudah menyebar kearea telinga dan jangan ditanyakan panasnya sudah seperti apa.

Rudy yang mendengar cicitan Elli tidak dapat menahan tawa. Rudy tertawa kecil karena gemas dengan gadis yang tingginya hanya sebatas dagunya ini. Setelah menjauhkan kembali tangannya, Rudy seperti hendak mengukung Elli diantara tangannya sampai membuat Elli membelalak terkejut sampai kakinya berubah lemas.

Cklek

Bunyi pintu terbuka. Sesaat pikiran Elli kosong, namun kesadarannya segera pulih ketika merasakan bahunya dibalik dan didorong keluar oleh Rudy. Sesudahnya pintu tertutup, Elli menangkup kedua pipinya menggunakan tangan untuk menutupi rona yang sering muncul apabila berdekatan dengan Rudy. "Ya ampun. Ini pipi panas banget." Elli bergumam sambil menjauh dari pintu ruangan Rudy.

Rudy yang baru saja menutup pintu langsung mengusap dada perlahan. Rudy mensyukuri karena kulitnya pucat jadi tidak bisa terlihat jelas oleh Elli bila pipinya kini merona panas. Namun tak urung kedua sudutnya pun tertarik keatas. "Hm... bagus juga Elli ikutin saya kemana-mana. Jadi tidak ada cowok yang berani deketin Elli, apalagi sampai mengajaknya nikah." Rudy bergumam pelan. Kemudian seulas senyum hadir karena menurutnya itu pemikiran yang sangat luar bagus.

***

Status Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang