Bab 27. keputusan hari ijab qobul

678 51 0
                                    

"Jadi kapan ijab qobulnya di langsungkan?" Sulis memandang bergantian orang-orang yang ada di ruang tengah.

Selepas mereka makan, mereka memutuskan untuk kembali merundingkan pernikahan anak-anaknya di ruang tengah.

"Saya dan Rudy sudah harus kembali ke Jakarta lusa. Kalau besok bagaimana? Biar lusa Elli bisa pulang ke Jakarta bareng kami." Nyonya Devi memberi usul. Sebenarnya bisa saja mereka lebih lama lagi tinggal di Desa asih, karena memang rencananya sekalian liburan. Namun, berhubung keadaan sudah tidak memungkinkan sebab kejadian kemarin, terpaksa kepulangannya dipercepat demi menghindari hal-hal tak diinginkan seperti kejadian tadi.

"Apa Nak Rudy dan Liya siap?" Pak Lurah Groho meminta kesiapan sang calon mempelai laki-laki dan mempelai wanitanya.

Rudy terdiam sebentar ketika sekelebat bayangan seorang perempuan cantik lewat dipikirannya. Dia meyakinkan hatinya bahwa ini adalah keputusan terbaiknya. Rudy tidak mungkin membiarkan Elli menanggung aib yang sebenarnya bukan aib akibat salah paham di pemandian itu. "Ya, saya setuju dengan usul mamah." Rudy memantapkan hatinya.

"Aku ngikut aja." Bahkan Elli tidak tau sejak kapan dia merubah panggilannya sendiri menjadi aku dari saya.

Pak Lurah Groho mengangguk puas, kemudian menoleh bergantian ke arah Supriyadi dan Sulis "Apakah Supriyadi dan Sulis menyetujuinya juga?"

"Kalau Liya sudah setuju, kami selaku orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik saja. Iya kan, bah?" Sulis menoleh ke arah Supriyadi meminta persetujuan.

"Ya." Ucap Supriyadi pelan. Dia memandang anak gadisnya penuh kasih. Sebenarnya kalau bisa, Supriyadi tak ingin Elli menikah. Dia ingin selamanya Elli tetap di sampingnya, tapi dia sadar akan ada masanya di mana anak yang ia rawat dari kecil hingga besar akan pergi mengikuti suaminya. "Liya memang lebih baik pulang ke Jakarta secepatnya, kalau bisa dalam waktu agak lama dia tidak pulang kesini dulu. Biarlah nanti abah dan mamak yang menongaknya kesana, itu lebih baik ketimbang Liya yang pulang kesini namun hanya mendapat olokan dari para warga."

"Maaf kalau saya menyela, kenapa Pak Lurah Groho dan pak Supriyadi tidak menjelaskan secara rinci kejadian kemarin pada warga agar merrka tidak salah paham." Rudy mengeluarkan pemikirannya yang sudah mengganjal dari tadi. Kalau dijelaskan, Rudy yakin para warga akan mengerti. Namun, kenapa tidak ada tindakan itu dari Supriyadi ataupun Pak Lurah Groho selaku kelurahan Desa asih.

Supriyadi memandang sebentar kearah Groho, setelah mendapat anggukan barulah Supriyadi menatap Rudy lekat. "Sebenarnya kami sudah mengklarifikasi kejadian kemarin pada para warga bahwa di pemandian itu hanya terjadi kesalah pahaman semata. Para warga ada yang percaya dan juga ada yang tidak. Di sini yang jadi masalah saat para warga yang tidak percaya dan malah menuduh saya selaku abah Liya dianggap menyembunyikan kejadian sebenarnya demi melindungi anak saya. Dari situ warga menyuruh Liya di usir dari kampung ini atau dinikahkan dengna Nak Rudy. Begitu Nak Rudy."

Rudy tertegun. Sebegitu buruk kah kesalah pahaman kemarin sampai berimbas pada Elli. Ternyata keputusannya untuk menikahi Elli adalah keputusan terbaik. Rudy tidak mungkin membiarkan Elli diusir dari kampungnya sendiri.

"Baiklah, saya siap menikahi Elli esok hari. Secepatnya lebih baik. Dan pada permintaan Elli yang ingin menyembunyikan dulu status pernikahan ini saya rasa tidak masalah karena ada untungnya juga buat saya dan Elli yang bekerja di Rumah sakit sama yaitu kasih ibu, dimana sesama pekerja tidak diperbolehkan memiliki hubungan semisal asmara." Lalu Rudy menoleh ke arah Elli yang duduk di tengah-tengah antara Sulis dan Supriyadi. "Untuk masalah biaya kuliahmu, saya yang akan membiayayinya karena kamu akan menjadi istri saya."

"Untuk masalah biaya itu, saya sudah berjanji akan membiyayai Liya sampai lulus dan menjadi Dokter. Jadi, biarkan saja saya yang membiayainya." Supriyadi buru-buru menyela sebelum Elli menjawab.

"Kapan abah ada janji begitu?" Elli bertanya heran.

Supriyadi menatap Elli penuh rasa bersalah. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca. "Janji pada diri abah sendiri sebagai sedikit penebus rasa bersalah abah pada kamu selama ini. Abah ingin yang terbaik untukmu, makanya abah sampai usaha mati-matian selama ini demi membiyayai kuliah kedokteranmu yang sangat mahal. Jadi, Liya harus bisa menjadi sukses agar hati abah lega melihatmu hidup bahagia untuk kedepannya."

Supriyadi teringat bahwa selama ini, perlakuannya pada anak gadis semata wayangnya jauh dari kata adil. Supriyadi menyadari itu, tapi dia menutup mata karena terikat janji dengan Almarhum Kakak laki-lakinya yang sudah meninggal 20 tahun lalu. "Abah tau, abah ini egois terhadap Liya. Abah selalu mengutamakan Manda kepoakan abah dibanding Liya yang anak abah sendiri. Tapi percayalah, Liya adalah anak tersayang abah."

"Abah, itu bukan kesalahan. Liya juga sudah bilang bukan, kalau Liya ikhlas." Elli menatap Abahnya sedih.

Supriyadi mengusap matanya yang basah. "Abah tau, tapi tetap saja abah merasa sudah gagal menjadi abah yang terbaik bagi anak abah ini."

"Sudah, malu atuh dilihatin calon besan dan mantu. Malah melow drama ala sinetron." Sulis menyeletuk demi mencairkan suasana.

Supriyadi tersenyum tak enak pada Nyonya Devi dan Rudy yang menatapnya penasaran. "Maaf, kalian jadi melihat adegan ala keluarga lebay kami."  Supriyadi terkekeh di akhir ucapannya.

"Tidak apa-apa. Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga, jadi tidak perlu terlalu sungkan begitu." Nyonya Devi menjawab ramah. Lalu tatapannya beralih ke arah Elli. "Bukankah tadi Nak Elli juga mengatakan kuliahnya masih ingin dibiyayai pak Supriyadi? Saya rasa tidak apa-apa kalau adanya begitu." Nyonya Devi menatap Elli lembut. Sekilas tadi dia melihat pancaran sedih dari air muka Elli saat Supdiyadi membahas kesalahannya.

Rudy tidak mengatakan apa-apa, tapi tidak ada yang tau arti tatapan rumit dari matanya yang menatap Elli lekat.

"Terima kasih karena sudah mengerti." Supriyadi melebarkan senyumannya sampai menyipitkan kedua matanya yang sudah sedikit keriput.

"Jadi, kita menikah hanya status saja?" Rudy masih menatap Elli lekat.

"Untuk sementara begitu." Elli nyengir kaku. Dia agak tidak yakin saat mendengar ada sedikit nada kecewa dari pengucapan Rudy barusan.

Rudy mengangguk. Dia menatap Elli penuh perhitungan. "Baiklah, untuk kedepannya saya harap kamu tidak akan  pernah melupakan kalau kamu sudah bersuami. Jadi, mulai sekarang jangan mengundang laki-laki lain masuk dalam kehidupanmu."

"Belum, ijab qobulnya kan masih besok." Elli menjawab polos mengundang decakan dari Rudy.

Sulis meringis saat mengingat kelakuan minus sang anak. "Em... Nak Rudy?" panggilnya pelan

"Ya." Rudy balik menatap calon ibu mertuanya yang terlihat meringis tak enak itu. "Ada apa?"

Sebelum berbicara, Sulis menatap sebentar Elli yang juga menatapnya penasaran. Lalu dia mengalihkan lagi perhatiannya pada Rudy. "Sebenarnya saya malu sebagai mamaknya. Liya ini punya sipat yang minuuuuuuus banget."

Rudy diam, namun sebelah alisnya terangkat menandakan menunggu kelanjutan ucapan sang calon ibu mertua.

"Mamak." Elli mendelik memperingati sang ibu karena sudah bisa menebak apa yang akan dikatakannya.

Sulis cuek saat Elli memperingatinya, dia malah tetap melanjutkan ucapannya. "Saya harap Nak Rudy tidak menyesal di masa delan, Liya ini..."

***

Status Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang