Bab 22. Surat cinta

845 59 0
                                    

Tak kuat mendapat olokan habis-habisan dari Junaedi dan teman-temannya, Elli mengambil batu hendak melemparinya. Namun, sebuah tangan sudah lebih dulu menahannya. Elli membalik badannya ke belakang, sontak matanya membulat begitu menyadari siapa orang yang berdiri di belakangnya itu.

"Untuk apa batu ini?" Rudy menaikan sebelas alisnya. Dia mengambil batu yang Elli pegang kemudian melemparkannya sembarangan. "Jangan susah payah kamu kotori tanganmu hanya untuk membungkam mulut-mulut yang menggonggong seperti anjing minta diberi makan. Semakin kamu meladeninya, semakin semangat pula anjing itu menggonggong. Cukup biarkan, nanti juga diam sendiri."

Dalam jarak sedekat ini, Elli dapat melihat dengan jelas detail rupa wajah Rudy yang kaya akan pahatan indah. Benar kata Mamaknya, kalau laki-laki ini begitu tampan dengan rambut putih dan pupil mata serta kulit pucat.

"Benarkan apa yang saya ucapkan barusan?" Rudy menunduk menatap Elli yang hanya sebatas dagunya saja. Dia tersenyum tipis begitu menyadari Elli tengah menatapnya terpesona. Dengan jail Rudy meniup mata Elli sampai mengerjap-ngerjap.

"Anj***g! Dasar orang kota sombong. Karena kamu berbicara bahasa kotamu, bukan berarti saya tidak mengerti. Berani sekali kamu menyindirku di kampung saya sendiri. Belum tau siapa saya, kamu. Kamu sudah salah mencari lawan." Junaedi mendelik murka karena perkataan Rudy tadi berhasil menyentil ulu hatinya.

Dengan santai Rudy melipat tangan di depan dada. "Saya tidak sedang mencari lawan, kamu sendiri yang memulainya. Jadi, apakah di sini saya salah?"

"Jun, mun te salah eta lalaki anu di caritakeun para warga noong si Elli teh. (Jun, kalau tidak salah ini lakai-laki yang di ceritakan para warga ngintip si Elli.)" Pemuda cungkring yang duduk di belakang Junaedi berbisik ke dekat telinga Junaedi. "Tuh tempo jas anu dipake na! Ceunah mah lalaki nateh Dokter. Pan lalaki eta oge Dokter, kaciri tina make jas bodas kitu. (Tuh lihat jas yang dipakainya! Katanya laki-laki iti Dokter. Kan laki-laki ini juga Dokter, terlihat dari jas putih yang dipakainya.)"

Setelah mendapat bisikan dari Temannya, Junaedi kini menyeringai licik. Dia mengedipkan mata pada teman-temannya sebagai kode. Seperti sudah direncanakan, teman-temannya pun ikut menyeringai.

"Bukankah kamu ini yang waktu di pemandian ngintip si Elli mandi?" Junaedi tersenyum culas pada Rudy dan Elli.

Sedikit memiringkan kepalanya, kira-kira Rudy dapat menilai rencana apa yang akan Junaedi dan kawan-kawannya rencanakan. "Ya." Tanpa ragu Rudy mengakuinya.

"Kadenge teu, barudak? (Terdengar tidak, kawan-kawan?" Junaedi berbicara keras sambil melirik sedikit teman-temannya yang berada di belakang tubuhnya.

"Kadenge atuh. (Terdengar dong.)" Teman-temannya menjawab bersama.

"Junaedi, sebenarnya ada masalah apa kamu sama saya? Kenapa kamu selalu suka sekali mencari gara-gara?" Elli mentap Junaedi muak. Bukan hanya kali ini saja Junaedi mencari masalah dengannya, setipa dia kebetulan cuti kuliah Junaedi pasti selalu mencari celah agar bisa mengolok-oloknya. Elli tidak tau kenapa Junaedi selalu berbuat begitu, karena seingatnya dulu mereka teman bermain yang akur waktu kecil.

"Kamu tanya kenapa?" Junaedi memandang Elli tak percaya. "Setelah apa yang kamu lakukan pada saya, apa kamu tidak merasa bersalah juga?"

"Apa yang pernah saya lakukan?" Elli balik bertanya heran. Seingatnya dia tidak pernah berbuat sesuatu yang bisa sampai menyakiti Junaedi.

"Jun, gas pol. Awewe mopoho kitu mah teu alus di bere hate. (Jun, gas pol. Wanita pelupa gitu tidak bagus dikasih hati.)" Pemuda cungkring itu kembali membisikan kata-kta yang bisa membuat Junaedi makin murka.

Mendapat bisikan seperti itu, Junaedi jadi berpikir bahwa wanita pelupa semacam Elli memang pantas di hina habis-habisan karena tidak bisa menghargai hati orang lain.

Junaedi mendecih sinis. Benar kata temannya, wanita seperti Elli pantas diperlakukan buruk. "Halah, dasar wanita gak berperasaan. Punya muka sudah tercoreng pun masih belagu. Kamu itu sekarang aib bagi Mamak dan Abahmu, apa kamu tidak merasa malu sama sekali?"

"Cukup!" Rudy menatap Junaedi tajam. "Kamu tidak seharusnya berbicara sekejam itu pada Elli. Kamu laki-laki, tapi perkataanmu menyiratkan kelakuan seorang pengecut. Seharusnya yang malu di sini itu kamu, menyebut orang lain aib padahal kamu sendiri tidak tau akar permasalahan yang sebenarnya."

Dibilang pengecut, Junaedi jadi berang. "Bukankah jelas kalau akar permasalahnnya ada pada diri si Elli yang gatel dan pada diri kamu yang mata keranjang. Kalian sudah berbuat zina tapi masih berani memandang orang lain seangkuh ini, apa urat malumu sudah putus?"

"Saya heran dengan kamu, kamu menghina Elli dan saya habis-habisan. Namun, yang saya tangkap dari raut dan gerak gerikmu sepertinya kamu punya motivasi tersendiri. Bisa jadi itu karena kamu punya dendam, pada Elli mungkin." Rudy bukan asal bicara saja, dia memang dapat melihat dengan jelas ekspresi yang Junaedi keluarkan.

Junaedi mengepalkan tangannya kuat sehingga urat-uratnya menonjol. Dia tidak suka ada orang yang berani melawan perkataannya, apalagi secara tidak langsung Rudy adalah saingannya.

Dulu, dia dan Elli memang berteman baik. Teman masa kecil yang seiring pertumbuhan mereka, semakin pula tumbuh rasa asing dalam hati Junaedi untuk Elli si gadis dengan mata bulat berpupil coklat.

Junaedi sudah memendam cinta untuk Elli dari dia kecil sampai mereka sama-sama kelas dua belas. Atas dorongan Ringgo, pemuda cungkring yang sama-sama sekelas. akhirnya Junaedi memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

Pada jaman itu, menulis surat adalah cara terpopuler yang dilakukan para pemuda untuk menembak gadis pujaannya. Hal itu pula yang dilakukan Junaedi. Junaedi menulis ungkapan cintanya pada sebuah kertas lalu menitipkannya pada Ringgo. Namun, setelah Ringgo datang membawa surat balasan dari Elli dia marah bukan main. Di surat itu Elli mengatakan kalau Junaedi tidak lebih dari seorang teman masa kecil yang dapat dia manpaatkan dan tidak akan pernah bisa lebih. Elli juga menuliskan kalau Junaedi tidak tampan sehingga kalau Elli menerimanya tidak akan bisa dipamerkan pada teman-temannya.

Perasan seirang remaja yang masih labil dan di tambah hasutan-hasutan Ringgo menjadi akar dendam kuat yang Junaedi punya untuk Elli.

Dari saat itu, Junedi menjauhi Elli dan selalu mencari-cari celah untuk mengolok-ngolok Elli. Makanya saat kejadian yang menimpa Elli kemarin merupakan momen yang Junaedi nanti-nantika karena dapat melampiaskan dendam hatinya pada Elli.

"Saya memang punya dendam pada Elli." Tanpa ragu Junaedi mengakuinya. "Elli sudah mematahkan hati saya, dia adalah gadis tak tau diri yang sudah memanpaatkan temannya."

"Apa maksudmu?" Elli bertanya tidak paham. Kapan dia mematahkan dan memanpaatkan temanya? Elli merasa dia tidak pernah berbuat seperti itu.

Diam-diam Ringgo atau pemuda cungkring yang selalu membisikan kata-kata pada Junaedi melengos kabur. Dia tau situasi saat ini tidak menguntungkan untuknya. Sebelum dia tertangkap, lebih baik dia mencoba kabur terlebih dahulu.

Junaedi menatap Elli benci. "Dulu saya menulis surat cinta untukmu, tapi balasanmu hanya penolakan dan kata-kata tidak pantas yang seharusnya tidak dikatakan seorang teman masa kecil. Apa sekarang kamu ingat dengan kesalahanmu?"

"Apa?"

***

Status Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang