"Mas sedang ada yang dipikirkan?" tanya Shima sembari meletakkan secangkir teh di atas meja. Awan seperti terkejut dengan kedatangan Shima yang tiba-tiba.
Awan menoleh ke arah Shima yang sudah mendudukkan diri di bangku samping Awan dibatasi meja. Shima menaikkan alisnya saat Awan tidak segera mengeluarkan suara. Awan seakan tersadar. Laki-laki itu menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke halaman.
"Tidak ada. Hanya masalah kafe."
Shima mengangguk-angguk seakan paham. "Diminum, Mas. Sebentar lagi Abi pulang."
Awan mengangguk dan meraih cangkir yang sudah di atas meja. Keduanya sedang merasa di teras rumah Shima. Sebagaimana pesan yang dikirim oleh Shima kemarin bahwa Abi memintanya datang hari ini. Setelah dari kafe, Awan datang ke rumah Shima untuk memenuhi undangan Abi. Namun, ternyata Abi belum pulang dari kantor. Sepertinya Awan terlalu awal datang. Atau seharusnya tadi dia menghubungi dulu dan bertanya apakah Abi sudah berada di rumah atau belum. Ah, Awan tidak terpikir hingga ke sana.
Udara sore hari ini benar-benar baik. Meskipun waktu sudah hendak menunjukkan pukul lima sore. Namun, langit masih berwarna. Tanaman yang mengelilingi halaman pun terlihat segar dan bahagia.
Rumah Shima bukan tipe rumah besar megah berlantai dua. Rumah itu termasuk sederhana. Berlantai 1, dengan halaman berpaving di kelilingi pagar tidak tinggi dan banyak tanaman. Terdapat beberapa pohon yang dibiarkan di area berpaving. Sudah bisa dibayangkan, teras ini akan tetap menyenangkan meskipun Jogja sedang dilanda musim panas.
"Sepertinya Abi meminta Mas kemari untuk membahas kapan ziarah ke makan Ummi," ujar Shima memecah keheningan.
Awan meletakkan cangkirnya. "Makam Ummi tidak berada di sini?"
Shima menggeleng. "Ummi dimakamkan di tempat kelahirannya. Di Malang, sesuai pesan Ummi sebelum pergi." Shima menoleh. "Mungkin Mas harus mengosongkan 1 hari untuk pergi ke sana bersama kami."
"Mas bisa kapanpun. InsyaAllah."
Shima mengangguk.
Awan kembali terdiam. Dia tidak paham mengapa perasaannya tidak tenang. Seperti ada khawatir yang melanda perasaannya. Sibuk dengan pikirannya, tanpa sadar beberapa kali Awan melihat ke arah jam yang melingkar di lengannya. Hal itu tidak luput dari pandangan Shima.
"Mas ada janji lagi selain sama Abi?"
"Ha?" Awan terjengit lagi. Kemudian dia menggeleng. "Tidak. Tidak ada. Ah, itu Abi sudah datang," ujar Awan saat sebuah mobil hitam memasuki halaman.
Mobil itu berhenti di garasi. Setelahnya seorang pria dengan seragam berwarna kaki tersenyum saat kakinya terulur ke atas paving.
"Sudah lama?"
Awan menggeleng sembari mencium punggung tangan laki-laki yang sudah berdiri di teras rumah itu. "Belum, Bi."
Pria itu mengangguk lalu mengisyaratkan kepada Awan untuk kembali duduk. Sementara itu, Shima masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman untuk Abinya.
Kedua laki-laki beda generasi tersebut bercengkrama saling berbasa-basi. Mengobrol tentang kesibukan masing-masing. Abi Shima sebagai pegawai negeri sipil dan Awan sebagai pengusaha.
Abi Shima bukan tipe orangtua yang konvensional. Pria itu memiliki wawasan yang luas mengikuti zaman. Tidak heran jika paham apa yang sedang tren sekarang sehingga bisa mudah menyambung obrolan dengan calon menantunya.
"Mungkin setelah keluarga kamu ke mari minggu depan, kita bisa ke Malang." Harun meletakkan cangkir berisi kopi ke atas meja. Matanya menatap Shima yang menunduk di sampingnya. "Bagaimana menurut Shima?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGIBA CINTA DALAM SATU SURGA(SELESAI)✓
SpiritualJudul awal: CAHAYA SEORANG IMAM/CAHAYA UNTUK SYA 🔥🔥Plagiat Artinya Mencuri dan Mencuri Itu Dosa 🔥🔥 Shalihah, taat, hafizah, cantik bukan hanya rupa tapi juga akhlaknya adalah sederet kriteria perempuan yang seluruh laki-laki di dunia ini sepakat...