Sya melangkah dengan mata yang sering kali melirik tangan kanannya yang terpaut dengan tangan kiri seseorang. Perutnya sudah kenyang setelah Awan membawanya ke sebuah kedai sederhana dengan nuansa malam yang menenangkan. Keduanya makan dengan keheningan. Sya lebih banyak diam dan hanya menjawab singkat apa yang Awan tanyakan. Selain itu, tidak ada obrolan. Setelah selesai makan, Awan membawa Sya ke jalan Malioboro. Setelah memarkirkan mobil, keduanya berjalan bergandengan tangan. Atau lebih tepatnya Awan yang diam-diam memasukkan jari-jarinya ke sela jari-jari Sya.
"Mau ke mana?" tanya Awan sembari menoleh sekilas kepada Sya, lalu mengedarkan pandangannya. Kakinya berhenti melangkah.
"Mas mau ke mana?" tanya Sya yang membuat Awan menaikkan satu alis disusul senyum tipis ke arah istrinya. "Ke mana aja asal sama kamu," jawabnya sambil menaikturunkan kedua alisnya.
Sya tersenyum.
Awan mengulurkan tangannya dan mengusap puncak kepala istrinya. "Nah, gitu senyum. Pergi sama saya jangan terlihat tertekan, Sya."
"Memang Sya keliatan tertekan?"
Awan mengangguk. "Dari tadi kamu kayak pergi sama orang asing," jawab Awan dengan ekspresi dibuat kesal.
"Sya cuma ngerasa aneh aja pergi berdua," kata Sya membawa tangan Awan berjalan lagi. Perempuan itu mengayunkan tangan mereka yang bertautan. "Padahal kita menikah udah hampir satu tahun," katanya lagi. Sya menoleh dengan kaki yang masih terus melangkah. Matanya menatap Awan yang juga mengarahkan pandangannya ke arah dirinya.
"Kita harus banyak-banyak waktu kayak gini," kata Awan.
Sya menghela nafasnya panjang menatap ke depan. Malam ini Malioboro ramai seperti biasanya. Orang-orang melangkahkan kaki, duduk bergerombol, atau sekadar duduk di bangku-bangku yang di sediakan sepanjang jalan.
"Mas," panggil Sya tanpa menoleh.
"Ya?"
"Bagaimana perasaan Mas ke Mba Shima?" tanya Sya tiba-tiba.
Langkah Awan seketika berhenti, membuat Sya menoleh. Tautan tangan keduanya terlepas. Mata Awan menatap Sya berbeda.
"Kenapa kamu tanya begitu?"
Sya menggeleng. "Hanya ingin tau saja. Apa masih ada perasaan Mas buat Mba Shima?" tanya Sya menatap dalam sepasang mata suaminya.
"Jangan ngaco, Sya. Kamu istri saya." Awan melangkah lagi dan membawa tangan istrinya. Sya diam dan mengikuti langkah Awan saja. Genggaman tangan laki-laki itu mengerat dengan rahang yang terlihat mengeras. Sya mengulurkan tangan lainnya yang bebas dan mengusap lengan Awan hingga laki-laki itu menoleh ke arahnya. Sya tersenyum dan meletakkan kepalanya ke bahu suaminya dengan posisi tangan yang memeluk lengan Awan. Nyaman tetapi hampa. Tenang tetapi kosong. Hangat tetapi menakutkan.
"Gimana kuliah kamu, Sya?" tanya Awan saat keduanya sudah duduk di salah satu bangku. Sya masih dengan posisi yang sama pun menggeleng. "Tidak ada yang spesial, Mas. Biasa saya," katanya.
"Nggak usah minder karena nanti bakal lulus terlambat dari temen-temenmu dulu," kata Awan dibalas anggukan.
"Mungkin juga nanti kamu akan cuti lagi kalau kamu hamil," lanjut Awan membuat Sya menegakkan tubuhnya.
Awan melipat dahinya. "Kenapa? Kamu nggak mau hamil?" tanya Awan membuat Sya menghela nafas.
"Bukan begitu, Mas." Sya menjeda kalimatnya dan mengarahkan pandangannya ke orang berlalu lalang. "Sya kan--"
"Saya sudah 34 tahun, Sya. Ibu udah makin tua tapi belum ngrasain gendong cucu. Saya harap kamu bisa hamil dekat-dekat ini," ujar Awan membuat Sya menoleh dengan tatapan bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGIBA CINTA DALAM SATU SURGA(SELESAI)✓
EspiritualJudul awal: CAHAYA SEORANG IMAM/CAHAYA UNTUK SYA 🔥🔥Plagiat Artinya Mencuri dan Mencuri Itu Dosa 🔥🔥 Shalihah, taat, hafizah, cantik bukan hanya rupa tapi juga akhlaknya adalah sederet kriteria perempuan yang seluruh laki-laki di dunia ini sepakat...