27. Ikrar Kedua

3.4K 447 195
                                    

Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring menjadi musik pengiring sarapan di sebuah keluarga. Keluarga dengan formasi lengkap terdiri atas wanita yang berstatus istri dan ibu, pria sebagai suami dan ayah, dan sepasang anak laki-laki dan perempuan.

"Kata adik, Mas lagi naksir seseorang. Mau Ayah lamarkan?" suara dari pria yang sudah berpakaian rapi itu menarik semua perhatian orang-orang di sana. Wanita yang tengah mengupas pisang langsung menoleh pada anak laki-laki tertuanya yang menghentikan kunyahan.

"Eh? Serius? Siapa nih perempuannya?" tanya wanita itu dengan antusias.

Bukannya menjawab, laki-laki yang kini sedang menjadi topik utama dalam obrolan pagi itu melirik adiknya yang duduk di sampingnya. Bukan merasa bersalah karena sudah mengadu pada ayah, perempuan itu malah tersenyum lebar dan memberikan tatapan menggoda pada kakaknya.

"Hish!" geramnya sambil menyentil dahi adiknya.

Perempuan yang mendapat sentilan itupun hendak membalas kekerasan dari kakaknya, tetapi suara sang ayah sudah lebih dulu menginterupsi pertengkaran yang akan ada.

"Jadi siapa, Mas? Kok nggak dikenalin sih ke keluarga?" tanya wanita yang duduk di seberang laki-laki itu sambil mengunyah pisang sebagai menu sarapan pagi ini.

"Belum bisa, Bun."

"Belum bisa atau belum mau? Eh atau nggak mau perempuannya?" sahut seseorang di samping dengan melanjutkan menyuap nasi goreng di piringnya.

"Adik..." suara Ayah menginterupsi lagi. Pandangan pria itu bergeser kepada putranya yang mencibir adiknya.

"Berikan alamat perempuannya, Mas. Biar Ayah sama Bunda ajukan lamaran buat dia," kata pria itu tenang dan berwibawa seperti biasanya.

Istrinya yang berada di sampingnya pun mengangguk setuju. "Mas Asta nggak boleh menunda niat baik," katanya.

Asta meraih gelas dan meneguk air hangat untuk membasahi kerongkongannya. Usianya memang sudah cukup matang untuk menikah. Terlebih lagi, secara finansial pun tidak perlu diragukan lagi. Masalahnya adalah bukan di dirinya, tetapi di pihak perempuannya.

"Dia belum tertarik pada Asta, Bun." Asta meletakkan gelas dan menatap Bundanya. "Atau lebih tepatnya dia memang tidak tertarik sampai terus menghindar."

"Mas bukan tipenya mungkin," saut adiknya.

Asta mengangguk setuju dengan raut sedih. "Mungkin," katanya. "Asta nggak mau membuat dia nggak nyaman apalagi terpaksa." Asta menatap makanan di atas piringnya dan menerawang jauh hingga sosok Sya muncul di pikirannya. Perempuan itu terlalu istimewa untuk disakiti dengan sebuah hubungan.

"Apapun itu, Asta cuma ingin dia bahagia dalam hidupnya. Ya nggak harus sama Asta," lanjut Asta mengangkat pandangannya dan menatap seluruh anggota keluarganya dengan senyumnya yang berkharisma.

"Betul! Kalau gitu, adik kapan Kakak mau ngelamar?"

Perempuan di samping Asta terbatuk sebab tersedak. Asta langsung mengulurkan minum dan memukul pelan punggung adiknya hingga perempuan itu mereda. Bagaimana dia tidak terkejut tiba-tiba ditembak dengan pertanyaan demikian.

Perempuan itu menyeka air matanya sebelum berbicara. "Kakak mau melamar dari tahun lalu, tapi nggak enak melangkahi Mas Asta," katanya sambil melirik saudara kandungnya.

Asta menusuk potongan buah pepaya dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Masmu ini laki-laki hei! Nikah sana, kasihan Kakakmu itu udah lebih tua dari Masmu ini!"

Bunda dan Ayah tertawa kecil.

"Di keluarga kita, siapa yang ketemu calon lebih dulu ya itu yang nikah. Jadi, suruh Kakak ke sini ketemu Ayah."

MENGIBA CINTA DALAM SATU SURGA(SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang