7. Memulai Peran

2.4K 324 29
                                    

Awan mengusap punggung tangan istrinya yang berada di atas pangkuan perempuan itu. Gerakan yang membuat Sya menoleh. Wajah perempuan itu masih sembab sebab tangisnya beberapa saat yang lalu.

"Mau langsung ke rumah atau Sya mau ke tempat lain dulu?" tanya Awan yang membagi pandangannya ke depan. Tangan kanannya masih mengendalikan stir mobil yang membawa keduanya membelah jalanan.

Perempuan di sampingnya menunduk dan memandangi tangan suaminya. "Langsung pulang saja," katanya.

Awan mengangguk. "Saya akan ke kosan kamu besok atau lusa," ujar Awan membuat Sya kembali menoleh.

"Barang-barang kuliah kamu saya pindahkan ke rumah dan memutus kontraknya," lanjut Awan. Laki-laki itu melempar senyum ke arah Sya yang mengangguk dan kembali terperangkap dalam keheningan.

Sesuai jadwal, hari itu Sya sudah diperbolehkan pulang. Meskipun dia harus tetap kontrol beberapa saat ke depan karena keadaan tangannya yang patah. Sya menangis sejak pagi karena harus berpisah dengan Ibunya. Wanita itu kembali ke Semarang. Awan sudah mencoba membujuk Isna untuk tinggal saja di Jogja di rumahnya bersama mereka, tetapi Isna menolak. Isna tidak ingin menjadi beban putri dan menantunya. Isna nyaman di Semarang. Perempuan itu akan kembali ke rutinitas seperti biasa.

"Ibu titip Sya ya, Nak Awan," pesan Isna sebelum masuk ke peron. Wanita itu mempercayakan penuh kehidupan putrinya kepada Awan. Laki-laki yang memberikan kehidupan baru kepada putrinya. Isna berhutang banyak kepada Awan dan keluarganya. Tidak ada yang bisa Isna berikan selain ucapan terima kasih dan doa sepanjang usianya. Dia akan membawa nama Awan dalam tengadah tangan.

"Jangan lukai perasaannya karena keadaannya. Jangan ungkit apapun tentang masa lalu Sya." Isna menggenggam tangan menantunya sembari terisak. "Jangan habiskan hatinya yang telah tidak utuh," akhir Isna sebelum memeluk menantunya. Tidak ada yang dia pesankan kepada Sya kecuali meminta putrinya terus bersabar karena jalan putrinya tidak akan mudah dilalui kedepannya.

Awan memang menerima Sya, tetapi tidak dengan orang lain. Isna hanya berharap, Awan dapat terus menggenggam tangan Sya bagaimanapun keadaan dan situasinya.

"Pelan-pelan, Sya." Awan membantu Sya menuruni mobil saat kendaraan beroda empat itu terparkir di halaman rumah. Sya menatap rumah yang akan dia tinggali itu. Sebuah bangunan yang menjadi awal kehidupannya.

"Ayo masuk!" ajak Awan dengan membawa tangan kanan Sya. Langkah Sya beriringan dengan suaminya melewati teras dan membuka pintu.

Rumah berlantai tua itu didominasi dengan warna putih. Halamannya luas berpaving di kelilingi bunga pucuk harus yang berdampingan dengan pagar. Di teras rumah terdapat satu set meja kursi untuk bersantai. Ketika masuk, Sya disuguhi ruang tamu yang cukup luas.

"Kamar kita ada di atas," terang Awan saat Sya menghentikan langkahnya.

Sya menoleh kepada suaminya. Perempuan itu merasa semakin kecil tidak sebanding dengan Awan.

"Itu Bi Parti." Awan mengedikkan mata pada seseorang yang datang ke arah mereka dengan tergopoh-gopoh.

"Ini istri Mas Awan?" tanya wanita itu dengan mata menatap Sya. Awan mengangguk.

"Cantik yo, Mas. Juan tenan, Mas Awan pinter cari bojo!" puji Bi Parti sembari menepuk tangan saking terkesimanya dengan Sya. Padahal, masih ada bekas luka di wajah Sya. Lagi-lagi, cantik atau tampan itu relatif dan subjektif.

"Saya Bi Parti, tukang quality control rumah."

Sya menaikkan alisnya, sedangkan Awan terkekeh saja.

"Maksudnya, yang memastikan rumah dalam keadaan rapi, bersih, dan wangi. Juga perut Mas Awan kenyang, aman, dan bergizi," jelas Bi Parti mengundang senyum di bibir Sya.

MENGIBA CINTA DALAM SATU SURGA(SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang