Terbiasa tidak semudah diucapkan. Ada luka yang masih terasa nyerinya. Ada otak yang memaksa mengingat bahwa apa yang dilihatnya bukanlah sebuah kesalahan. Ada mata yang lagi-lagi memanas hendak mengalirkan lahar duka. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan selain menghela nafas dan tersenyum seperti biasa.
Suara tawa di balkon samping berbatas dinding membuat Sya bangkit dari duduknya. Bagi Sya menghindar adalah pilihan terbaik untuk mengamankan hatinya. Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar kembali, meninggalkan dua orang yang melempar tawa di samping sana. Seharusnya Sya tidak boleh terluka, tetapi lagi-lagi dia adalah manusia biasa.
"Maafkan Bunda ya, Sya belum bisa berkunjung ke Jogja."
Sambungan telfon itu masih ada. Sya memindahkan ponselnya dari telinga sebelah kiri ke telinga sebelah kanan. Tubuhnya dia dudukkan di tepi ranjang.
"Sya yang harusnya minta maaf karena belum pulang, Bun," ujar Sya dengan nada sedih. "InsyaAllah liburan nanti Sya bisa pulang ya, Bun."
"Nggak usah dipaksa kalau ndak bisa. Sya kan harus ngurus suami," ujar seseorang di seberang sana membuat hati Sya teremas.
"Mas Awan sehat kan, Sya?"
"Alhamdulillah sehat, Bun."
"Ingat ya, Sya. Surga Sya di ridhonya suami. Sya harus berbakti ke Mas Awan," pesan wanita yang sudah lama tidak Sya temui.
Setiap kali Asna menelfon putrinya, pesan tersebut tidak lupa disampaikan. Wanita itu khawatir putrinya masih terjebak pada pemikiran gadis singel yang sibuk dengan dunianya sendiri. Bagaimanapun, Sya masih sangat muda. Perempuan yang harusnya fokus mengejar cita-citanya harus mengemban tanggung jawab sebagai istri.
Di lain sisi, rasanya Sya ingin membagi rasanya. Memberi tahu bahwa semua tidak mudah dijalaninya. Namun, Sya tidak bisa mengatakan apapun selain mengabarkan hal-hal yang baik saja. Hal-hal yang menenangkan keluarga yang dia punya satu-satunya. Sya tidak dapat membayangkan bagaimana jika Bundanya mengetahui keadaan yang sebenarnya. Bagaimana jika Bundanya mengetahui putri tunggalnya dimadu oleh Awan?
Berbicara tentang dimadu, Sya berusaha membiasa. Membiasa dengan Awan yang tidak selalu berada di kamar bersama dirinya, membiasa melihat Shima di sekitarnya, dan membiasa berbagi peran bersamanya. Sya tahu, Awan sangat berusaha untuk adil. Sementara itu, Shima berusaha mengadakan posisi Sya sebagai istri pertama.
Rasanya apakah mudah? Tentu tidak. Seperti pagi ini saat semua sudah siap di kursi masing-masing untuk sarapan. Awan duduk berdampingan dengan Shima, sedangkan Sya duduk berdampingan dengan Lintang. Heni sendiri duduk di antara mereka berempat yang saling berhadapan.
"Mas mau sarapan apa apa?"
"Mas mau makan apa?"
Lintang menghela nafas mendengar dua kalimat serupa yang diucapkan bersamaan tersebut. Perempuan itu melirik Awan yang terdiam sebelum mulai mengambil piring dan mengisinya dengan nasi juga SOP ikan seperti biasa. Sementara itu, Sya lebih dulu mendudukkan diri setelah sesaat menatap Shima yang berada di seberangnya.
"Wah! Ada ikan goreng favorit Mas. Pasti enak ini," ujar Awan memecah keheningan. Bibirnya tersenyum dengan mata yang dibuat antusias.
"Shima tolong ambilkan Mas nasi," ujar Awan kepada Shima yang masih berdiri dengan piring di tangan. Sesaat kemudian, matanya beralih kepada Sya yang sibuk mengelap sendoknya dengan tisu seperti biasanya.
"Sya tolong ambilkan Mas air hangat," ujarnya membuat Sya mengangkat wajahnya menatap Awan. Perempuan itu mengarahkan matanya singkat kepada Shima yang sedang menuang sayur sebelum bangkit ke dapur.
![](https://img.wattpad.com/cover/225672831-288-k516042.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGIBA CINTA DALAM SATU SURGA(SELESAI)✓
SpiritualJudul awal: CAHAYA SEORANG IMAM/CAHAYA UNTUK SYA 🔥🔥Plagiat Artinya Mencuri dan Mencuri Itu Dosa 🔥🔥 Shalihah, taat, hafizah, cantik bukan hanya rupa tapi juga akhlaknya adalah sederet kriteria perempuan yang seluruh laki-laki di dunia ini sepakat...