3. Iba

4.3K 407 34
                                    

Seorang laki-laki sudah rapi dengan celana selutut berpadu kaos berwarna hitam berbalut jaket tergesa mengunci pintu rumahnya dan segera menghampiri mobil yang terparkir anteng di garasi setelah sebelumnya mendorong gerbang. Setelah itu, kendaraan beroda empat itu dia kendarai membelah jalanan Jogja setelah memastikan gerbang rumahnya terkunci dengan aman.

Awan, laki-laki itu melirik jam di tangannya. Sekarang jarum pendek sudah hampir mencapai angka 10. Wajar saja matahari sudah bersinar cerah. Bahkan langit Jogja terlihat biru dengan sedikit awan-awan putih yang bergantungan. Berjalan perlahan terseret oleh angin.

Laki-laki itu sesekali mengucek matanya yang terasa perih dan berat. Kantung mata yang besar cukup membuktikan bahwa tidurnya sama sekali tidak nyenyak.

Tadi pagi, menjelang subuh laki-laki itu meninggalkan rumah sakit setelah menemukan kejelasan keluarga perempuan yang dia temukan dalam keadaan malang —Kasyaira. Awan bertahan di sana sampai Ibu dari perempuan itu bisa dihubungi. Dan satu jam lalu, dia mendapat kabar bahwa Ibu dari perempuan itu sudah sampai di Jogja, tepatnya di rumah sakit tempat Kasyaira ditangani.

Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit Awan telah memarkirkan mobilnya di parkiran bawah rumah sakit. Laki-laki itu segera menuju kamar rawat Kasyaira yang masih sama dengan tadi subuh ketika dia tinggal. Bukan tega atau tanpa perasaan Awan meninggalkan perempuan itu sendirian, tetapi Awan butuh sedikit waktu untuk sadar dari apa yang sudah terjadi terhadap dirinya. Laki-laki itu membutuhkan ruang untuk meraba apa dan bagaimana keadaannya.

"Pergi! Pergi! PERGI! Tolong! JANGAN! TOLONG! IBU! Tolong Adek, Bu. Jangan! Jangan!"

Langkah Awan terhenti ketika langkahnya tepat sampai di depan ruang rawat Kasyaira. Suara teriakan dengan syarat ketakutan dapat Awan dengan jelas.

"Tolong lepas kan! JANGAN! JANGAN! PERGI! Tolong Bu! Tolong Adek, Bu!"

Awan memejamkan mata sebentar sembari menahan nafas yang sesak. Matanya tidak sanggup melihat Kasyaira menjerit-jerit dengan tubuh meronta. Perempuan itu menangis dan berkeringat. Rambutnya acak-acakan. Tatapan kosong yang membuat hati Awan teremas.

"Biadab!" Umpatnya lirih dengan tangan yang mengepal kuat.

"To...long... A..dek..."

Suara Kasyaira melemah dan hilang ketika akhirnya suster menyuntikkan sesuatu melalu selang infusnya. Sekarang, yang ada hanya suara tangis wanita paruh baya seumuran Ibunya yang sedang memeluk putrinya. Kasyaira sudah kembali terpejam dan terkulai lemah.

Awan melangkah dan mengangguk ketika suster pamit keluar. Laki-laki itu berdiri di sisi kanan ranjang Kasyaira.

"Bu...." panggil Awan pelan. Wanita yang memeluk tangan putrinya sembari duduk di kursi itu mengangkat wajahnya. Terlihat wajah yang menyimpan banyak beban yang Awan dapat dengan mudah menebak. Bagaimana perasaan seorang ibu menghadapi kenyataan putrinya diperkosa seperti binatang?

Hancur!

Wanita itu bangkit tanpa melepas tangan putrinya yang kini tergenggam di tangan kirinya.

Dengan wajah yang masih basah, wanita itu mengulurkan tangan ke arah Awan.

"Saya Isna, ibunya Sya."

Awan meraih tangan itu dan mengecupnya tulus.

"Nak Awan?" tanya Isna ketika Awan melepaskan tangannya. Laki-laki itu mengangguk. "Iya, Bu. Maaf, saya baru ke sini lagi."

Isna menggeleng sembari menoleh ke arah Kasyaira yang terpejam. Wanita itu kembali meneteskan air matanya. "Jangan minta maaf. Ibu yang sangat makasih karena udah nolongin Sya."

MENGIBA CINTA DALAM SATU SURGA(SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang