🎑 3 🎑

62 22 1
                                    

Bapak bekerja sebagai pembuat minuman di kota ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bapak bekerja sebagai pembuat minuman di kota ini. Tidak bisa dipungkiri, tempatnya bekerja selalu ramai sehingga kualitasnya tidak perlu ditanya. Tapi, ironisnya dia tidak suka minum melainkan yang aman.

Aku dan Raka, di hari pertama, hanya berdiri  diam sambil memandangi Bapak membuat minum untuk para pelanggannya. Sebenarnya, tujuan kami hanya satu, tapi tidak satu pun dari kami yang berani berucap.

Ini salah Raka yang tidak membangunkanku beberapa jam lalu, harusnya kami sudah keluar dari sini sejak pagi supaya bisa bicara empat mata dengan Bapak.

Bapak tidak membangunkan, karena dia tidak tahu kehendak kami. Mungkin dikira masih ingin berlibur di rumahnya.

Di antara pelanggannya, kami berdua yang paling pucat. Untung tidak ada suara yang menyeru hal itu. Mentari belum begitu rendah sehingga masih aman bagi kami untuk berjalan keluar selagi menunggu malam menjemput.

Kurang lebih seperti Mama, Bapak tidur hanya beberapa jam saat kami beraktifitas dan kadang tidur di waktu yang sama dengan kami, tergantung keadaan dan suasana hati.

Seharian dia habiskan dengan menjaga kedainya. Biasanya ketika senja tutup sementara, sebelum akhirnya dibuka kembali hingga tengah malam. Dalam beberapa kasus, dia tutup seharian juga entah untuk menjemput kami di Hari Kedewasaan atau mungkin kendala darurat lain.

Kuperhatikan tangannya mengatur gelas dan minuman. Seakan menari, tidak kalah gesitnya dibandingkan kebanyakan orang. Sehingga menunggu antrean pun tidak begitu terasa.

Selagi menunggu, aku dan Raka duduk di kursi yang sedikit memojok. Sedikit diselubungi bayangan demi menghindari tatapan yang tidak diinginkan. Terus memandangi sosok pertama yang kami kagumi di dunia.

Terbayang kembali waktu ketika aku keluar dari panti untuk kali pertama, sambil membawa Rama bersamaku.

Dia berada di tas punggung, tidak begitu berat sehingga tidak mudah ketahuan kalau aku menyeludupkan anak di bawah umur.

Rama begitu senang, ingin sekali melihat dunia luar. Seharusnya dia menunggu beberapa tahun lagi, tapi tentu saja anak itu tidak akan menyerah. Sifat itu begitu kuat hingga berbalik menyerangnya.

Waktu itu, seharusnya kami menunggu Bapak sesuai rekomendasi Mama.

"Sebelum kalian pergi, ada baiknya menunggu Paman," saran Mama.

Ya, hanya aku dan Raka yang memanggilnya "Bapak" karena dia sosok pertama yang kami kenal di panti ini.

Mama pun mencium kening kami dan kami cium pula telapak tangannya sebelum pamit.

Begitu Mama pergi, Raka malah melompat terlebih dahulu ke jendela. Terjun langsung keluar tanpa menunggu Bapak. Membuatku refleks mengikuti saudaraku tanpa tahu rute mana yang semestinya.

"Raka!" seruku. "Ke mana?"

"Bertualang!" balas Raka selagi kami melompati dahan demi dahan. "Bukankah ini yang diinginkan adik-adik kita?"

Mama, Apa Rahasiamu? [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang