"Mika!" Terdengar seruan Bapak. "Bantu aku membersihkan ini!"
Aku hendak menyela kalau itu bisa jadi tugas Raka, namun kulihat saudaraku sedang sibuk menyapu lantai. Mau tidak mau, aku turuti kehendaknya.
Selagi mencuci piring, kuperhatikan Bapak yang sibuk dengan gelas dan minuman. Melihat tangannya yang agak kekar membuktikan bagaimana dia berhasil membunuh gadis itu hanya dengan sekali langkah.
Ya, sekali.
Tepat ketika mengucapkan "dengan senang hati" dia melesat dan berhasil menikam gadis itu hingga roboh.
Aku tidak percaya, dia dengan mudah membunuh seseorang yang dianggap sebagai penyelamat bagi sebagian orang. Namun, tentu wajar bagiku jika Bapak memilih menghabisinya. Dia barangkali takut kalau kami bakal diserang ketika mulai berbaur dengan masyarakat akibat satu saksi.
Begitu selesai menghabisi gadis itu, Bapak menyeret mayatnya. Di balik kain pelindung, kulihat dia melempar mayat gadis itu ke jurang layaknya sebuah barang buangan.
Dia berpaling ke arahku. Membantu berdiri sambil memegang bahu, seakan melindungi. "Saudaramu menunggu."
Aku diam saja. Agak lega jika yang dimaksud ternyata Raka dan Louis selamat. Setidaknya mereka aman.
Kami pun pulang, menuju rute yang sama seperti tadi. Sepanjang perjalanan, diam membisu selagi menyaksikan mentari semakin tinggi. Di hari itu, aku kembali ke panti dalam keadaan malu dan takut. Sementara Bapak terus menuntun ke tempat yang kuhindari. Begitu sampai, aku mendapat ceramah dari Mama.
Di hari itu juga, aku memutuskan untuk mengurung diri di sana. Menolak untuk bicara dengan siapa pun, termasuk penyelamatku.
Begitu malunya aku hingga keluar meminta makan saja rasanya seperti sebuah kejahatan. Namun, untungnya Mama meletakkan daging di depan kamar sewaktu-waktu jika aku lapar.
Di kamar, aku hanya diam memandangi dinding dan lantai. Merenungi nasib. Hingga beberapa hari kemudian, aku berani keluar dan diizinkan pergi sekali lagi.
Kembali ke saat ini, aku meletakkan gelas terakhir dan membiarkannya kering.
"Sudah selesai?" tanya Bapak.
"Sudah," sahutku sambil menata gelas.
Bapak pun duduk di tempat dia biasanya kerja. Kami berdua mendekatinya dan menatap pria itu dengan wajah penuh permintaan.
"Apa?" balas Bapak, tampak terganggu. Tentu saja dia mencium niat kami dari awal. Hanya saja, dia belum tentu mau.
"Bapak, izinkan kami berjalan di dunia luar," pinta Raka.
"Kami tidak akan jauh," sahutku.
Tidak butuh waktu lama bagi Bapak mengatakan "ya" dan kami hendak langsung pamit dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama, Apa Rahasiamu? [✓]
FantasyAku selalu penasaran akan dunia di luar panti ini. Mama bilang, di sana penuh dengan bahaya. Kami hidup di sebuah tempat yang disebut sebagai panti yang diurus oleh Mama seorang. Setiap setahun sekali, Mama akan mengumumkan jadwal 'kedewasaan' kami...