•46

3K 299 19
                                    

Mew tersenyum pedih menatap putri kecilnya yang pucat, terbujur kaku tak bernyawa karena kebodohannya dimasa lalu hingga saat ini.


Bayi malang itu di rebahkan di samping Gulf, papanya yang masih tak sadarkan diri setelah melewati begitu banyak masa-masa sulit. Gulf bahkan belum sempat melihat wajah putrinya, tapi putri kecilnya sudah harus segera di makamkan. Pantaskah Gulf mengembalikan Tasha pada Tuhan sementara Gulf belum sempat menyentuh anak malang itu.

Mew tak bisa menahan air matanya saat dokter meminta Mew untuk keluar dari ruangan lagi, Gulf tidak boleh terlalu lama dijenguk. Persiapan pemakaian sudah selesai, saatnya Tasha benar-benar pergi dan tak akan bisa ditemui lagi, selain di dalam hati Mew dan Gulf.

"Gulf, kami akan menguburkan putrimu sekarang. Percayakan pada kami, jaga dirimu tetap stabil agar kami bisa segera melakukan operasi kedua." bisik sang dokter.

Gulf membuka matanya perlahan saat ruangan dalam keadaan kosong, pria malang yang pucat itu mulai menitikkan air mata. Ia sudah sadar sejak lama, ia hanya tak ingin ada orang lain yang melihatnya. Ia terluka, sangat banyak! Disetiap inci dari tubuh dan hatinya.

Sejenak Mew menatap putranya yang berada di ruang inkubator, prediksi dokter benar adanya. Jika tidak cacat maka prematur, tapi Mew tidak pernah menganggap kematian sebagai konsekuensi nyata.

Tak ada yang tersisa lagi dari Gulf, semuanya musnah! Mew sebagai perenggutnya.

Sudah hampir dua jam Gulf sadar, diam seperti mayat tanpa ada yang menyadarinya. Hingga seorang perawat masuk dan menyadari keadaan Gulf yang membaik.

Gulf membuka saluran oksigennya, perawat yang melihat itu merasa sangat khawatir, itu jelas bukan hal yang baik untuk dilakukan. Gulf mungkin sadar, tapi ia jelas belum stabil.

"T-tunggu ...." ucap Gulf tak berdaya saat perawat itu akan melangkah keluar, memanggil dokter yang bertanggungjawab.

Perawat itu mendekati Gulf karena ia merasa bahwa Gulf mencoba menyampaikan sesuatu, "anda perlu sesuatu? Anda tidak boleh melepas selang oksigennya!" ucap sang perawat.

Gulf menggeleng pelan, "smartphone ...." lirih Gulf.

"Anda ingin meminjam smartphone saya?" tanya perawat itu.

Gulf mengangguk pelan, tenggorokannya terlalu kering.

Perawat itu menyerahkan smartphone perlahan-lahan ke arah Gulf, sebenarnya ia tidak yakin Gulf akan mampu menopang benda itu. Tapi ternyata Gulf bisa, ia bahkan menulis beberapa angka disana, bersiap menelpon seseorang.

"T-tolong jangan katakan pada siapapun tentang kondisi ku ...."

Perawat itu menatap khawatir, tapi akhirnya ia mengangguk karena tak tega dengan perjuangan Gulf hingga sejauh ini.

"Bisakah kau tunggu di luar? Air hangat, direbus ...." pinta Gulf.

Perawat itu kembali mengangguk, tapi Gulf menahan tangannya saat ia akan pergi.

"P-pulpen ...." lirih Gulf.

Perawat itu menyerahkan pulpen yang ia punya, lalu Gulf menanyakan padanya berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai air hangat datang. Perawat itu bilang sekitar empat puluh menit, karena jarak dapur lumayan jauh. Jika Gulf tidak keberatan dengan air yang dipanaskan di mesin, mungkin hanya perlu tiga menit.

Gulf mengangguk, tanda ia mengerti. "Jangan bilang pada siapapun kalau aku sudah sadar, aku tidak ingin siapapun masuk. Aku mohon ...." lirih Gulf.

Perawat itu mengangguk untuk kesekian kalinya, ia kemudian meninggalkan ruangan sesegera yang ia bisa.

Gulf menempelkan smartphone itu ditelinga nya setelah panggilan berhasil terhubung, "halo? Win?" lirih Gulf.

IGNITITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang