[20] Si Dewa Perang

212 63 90
                                    

Vote honey.
💜💜💜

***

Ara memfokuskan dirinya untuk mengobati luka yang Jaehyun miliki. Luka-luka ini adalah hasil dari perjuangan Jaehyun untuk mencari obat-obatan namun ada kesalahan yang ia lakukan, yaitu pergi diam-diam tanpa memberitahu Ara. Berakhirlah mereka berdua hanyut dalam kesunyian. Hanya suara gemerutuk kayu yang terbakar dalam kobaran api.

"Lain kali kalau mau mati jangan sendirian, ajak teman malammu itu. " Ara memulai percakapan dengan menyinggung wanita yang sering Jaehyun jumpai dimalam hari.

Jaehyun menyeringai gemas.

Puk puk!

Tangannya tepat berada dipuncak kepala Ara, menepuk dan berakhir mengacak gemas.

"Kalau begitu, ayo mati bersama!" kekeh Jaehyun. Bercanda.

Ara menekan kuat luka itu. Kekesalannya memuncak.

"Akh! Appo, yak!"

"Kenapa kau selalu bercanda seperti orang bodoh, huh?!"

Jaehyun tidak berani bicara. Melihat amarah Ara yang disertai tangisan membuat Jaehyun terkejut bukan main. Diam tidak berkutik melihat mata yang semakin deras mengeluarkan air asin itu.

"Ara-"

"Kau tahu sendiri hutan itu berbahaya dan kemungkinan untuk kau keluar darisana sangat kecil! Dan lagi kau pergi tanpa sepengetahuanku-" Ara berhenti. Menunduk, menggigit bibirnya. "Aku hanya khawatir." lanjut Ara.

Jaehyun baru mengerti. Memang sulit baginya untuk mengerti perasaan wanita tapi cukup tersentuh hatinya akan perhatian yang Ara berikan. Meskipun sedikit menyeramkan.

Ia meraih dagunya, mengangkat sedikit agar Jaehyun bisa melihat jelas matanya. Setelah bertemu kedua pasang mata itu, Jaehyun menatap lekat wajah yang banjir akan tangisan itu.

Tersenyum kecil.

"Cantik."

Bersemu sudah pipi itu. Bergerumuh jantungnya dijarak sedekat ini. Namun tidak disangka kalau Ara menepati janjinya untuk memukul jaehyun. Tidak peduli dengan luka yang sudah cukup menyiksa Jaehyun.

"JAEHYUN BODOH!"

BUGH!

***

Bisikan bahkan isakan tangis terdengar saat kakinya melangkah melewati jalan yang tengah ramai akan penduduk desa. Tidak-tidak. Ini bukan ekspresi wajah yang ingin Claire lihat. Dia malah melihat ekspresi ketakutan, putus asa bahkan wajah kebencian menyapa dengan berani.

Claire berhenti. Membuka tudung jubahnya yang putih tersebut, melihat sekeliling penduduk yang mulai mengelilinginya.

Seorang pria maju dari kerumunan itu. Menatap penuh kebencian.

"Kau seharusnya tidak keluar, tidurlah lebih lama! Tidurlah dan dengarlah tangisan kami. Kau tidak peduli bukan dengan nyawa kami? Kehilangan seorang anak, seorang ibu, seorang ayah. KAMI KEHILANGAN SEMUANYA! Dan apa yang kau lakukan selama ini? Kau ini ratu atau bukan, huh?"

Tombak yang dilempar dengan cepat menusuk tepat dihatinya. Mulut licin terbuka mengatakan kata yang mencabik-cabik dirinya hingga habis tidak tersisa. Mematahkan tulangnya tanpa takut. Dan apa yang harus dia lakukan? Tidak ada.

Diam dan diam. Tidak ada yang salah, itu semua memang benar. Disini Claire juga tidak memiliki hak untuk bertindak kasar tanpa tujuan kepada penduduknya. Cukup memendam saja.

Two Sides [THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang