BAB 1 : Dia Wirya

90 40 72
                                    

[Edited]

Hujan turun pagi ini. Bumi di ibu kota Jakarta basah olehnya. Hal itu sudah berlangsung selama berjam-jam sehingga membuat jalanan menjadi becek dan berair.

Sementara jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, gadis bertubuh mungil dengan bandana kelinci di kepalanya itu berjalan. Menyusuri rak demi rak buku yang tersusun rapi di tengah ruangan bernama perpustakaan tersebut.

Suasana hening menemani langkahnya yang pelan. Jemarinya bergerak, menyentuh setiap punggung buku yang tengah memampangkan urutan nomor buku dan judul buku yang berbeda.

Badge nama yang terpasang rapi di dada kirinya bertuliskan 'ESTHER GEORGINA'. Murid kelas sebelas yang kini sedang ingin berbaur dengan buku-buku bacaan yang bahkan selalu membuatnya bersin.

Hatchim!

Baru saja dibilang, gadis itu langsung bersin ketika aroma apek serta debu yang berasal dari buku-buku lama tak tersentuh itu menyapa indera penciumannya.

Tapi ia tak menyerah. Demi mencari buku referensi yang ia inginkan sebagai tugasnya di pertemuan berikutnya, tepatnya akan terjadi setelah istirahat ini, gadis yang kerap disapa Esther itu pun kembali menempelkan tangannya ke punggung. Hingga tak lama kemudian, sebuah binar muncul dari sorot mata setengah bulannya.

Bibirnya melengkung ke bawah, senyum langsung terbit dari wajah bulat terjatuhi poni itu.

Esther pun segera menarik buku itu keluar dari persembunyiannya, membawanya menuju ke salah satu meja kosong di sudut ruangan lalu membacanya.

Buku itu adalah buku novel. Hari ini ia diberi tugas untuk membuat sebuah resensi tentang buku novel. Dan yeah, entah karena alasan tertentu, atau karena deretan kalimat memanjakan mata, tanpa sadar Esther mulai terhanyut ke dalam bacaan itu.

Padahal ia bukan tipikal gadis yang suka membaca. Entah itu bacaan romantis, komik ataupun buku pembelajaran. Tapi bagai hipnotis, tulisan itu benar-benar menyihirnya.

"Permisi."

Mendengar suara lembut dan ramah itu, Esther segera menurunkan bukunya dan seketika itu juga kedua matanya langsung bertemu sapa dengan seorang laki-laki berwajah manis dengan lesung pipi di wajah.

"Ya?" kaget gadis itu, dengan wajah tidak santai.

"Aku boleh duduk di sini?" tanyanya.

Esther melongo. Tanpa sadar ia mengangguk. Membuat senyum singkat berhasil terbit dari laki-laki berlesung pipi itu. Ia tarik kursi di depan Esther lalu duduk di sana.

Gugup, Esther pun menaikkan bukunya, mencegah agar pipi merahnya kelihatan oleh laki-laki yang saat ini sedang duduk di depannya tersebut.

Tak beberapa lama, dengan dehaman canggung, gadis itu pun kembali menegakkan tubuhnya dan kembali membaca bukunya dengan tenang.

Selang beberapa detik, laki-laki itu masih di sana. Duduk tenang sembari sesekali bersiul pelan.

"Udah berapa lama bisa lihat?" tanya laki-laki itu. Esther menurunkan bukunya sedikit, demi melihat setengah wajah dari laki-laki itu. "Dari kecil atau nggak sengaja kebuka karena faktor nggak beruntung?"

"Eh?"

"Kamu," ujar laki-laki itu ramah.

Aku? Begitu kata gadis itu menggumam pelan seraya menunjuk dirinya sendiri dengan kedua mata membelalak.

Laki-laki itu terkekeh.

"Siapa lagi selain kamu di sini?" kekeh laki-laki itu dengan suara renyahnya.

The RevelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang