BAB 9 : Murid Baru

35 31 16
                                    

[Edited]

Blam.

Esther terbangun. Kedua kelopak matanya terbuka bersamaan. Hujan turun menimpa tubuhnya yang tidak sama sekali terbalut jas hujan maupun terlindung payung.

Sedetik setelahnya, kedua bola matanya berubah sayu.

Di detik berikutnya, ia bekap wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya sembari terisak. Perlahan namun pasti, isakan itu menjadi semakin jelas, bersama dengan intensitas hujan yang turun semakin deras.

---

Pagi itu, trotoar jalan sedang ramai-ramainya. Esther berjalan di sana dengan pakaiannya yang basah. Kedua bola matanya menatap kosong ke depan, sementara lututnya berdarah akibat terseret di ruang bawah tanah kala itu.

Sejak kembali, tak pernah ia rasakan ada kenormalan dari jemarinya. Yeah, gemetar dan kegetiran masih senantiasa menghantuinya. Tatkala batu itu ia layangkan kepada pria tersebut. Tatkala darah memercik ke tangannya. Semuanya, itu cukup membuat Esther merasa trauma. Fakta bahwa ia membunuh orang. Itu benar-benar menamparnya.

Yeah, untuk kali kedua, Esther kembali mengirim surat izin sakit ke sekolahnya. Kali ini ia kirim dua surat untuk satu minggu penuh tidak masuk ke sekolah.

Semenjak kejadian itu, Esther hanya mengurung dirinya di kamar. Mengingat setiap sekuen yang tersusun sangat apik di kepalanya. Tentang bagaimana segalanya berjalan dengan cepat maupun lambat. Semuanya masih segar di pikiran Esther.

Dimulai dari pertemuannya dengan Wirya dan Citra, lalu Veronica, surat-surat dari Arya hingga berakhir pada rumah Kepala Desa. Mengingat betapa cepat kejadian itu berlangsung, rangkaian ingatan itu tidak pernah bisa putus, sangat terpatri kuat di benak Esther. Serangkaian kejadian yang tak pernah Esther bayangkan akan hadir di kehidupannya yang monoton.

Tentang bagaimana pertemuannya dengan Wirya di perpustakaan, lalu tulisan di novel, dan tentang bagaimana sebuah terowongan angker dapat membawanya menembus ruang dan waktu 27 tahun jauhnya.

Jadi begitu kematian Wirya. Tragis dan mengerikan. Melihat bagaimana api itu menyambar tubuhnya dan membakar setiap inci kulitnya tanpa bisa dicegah.

Kematian tragis yang tidak Esther tahu bagaimana mengatakan akhirnya. Sejujurnya kehidupan Wirya tidak berakhir setelah itu.

Nyatanya laki-laki itu bergentayangan menjadi sesosok arwah penasaran yang tertahan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Karena dendam-dendam yang mengelilinginya. Dendam dari warga-warga yang juga mati karena ketidakadilan atas kematian-kematian tidak wajar yang dilampiaskan kepada laki-laki itu.

Esther bangkit dan menyibak selimutnya. Kedua matanya mendadak menjelas. Tidak ada lagi sayu yang tampak.

Bibirnya terbuka. Wajahnya tampak menunjukkan bahwa kini ia mengingat sesuatu. Ya, sesuatu yang kini menjadi alasan kenapa ia bisa bangun sekarang.

Ucapan Wirya tempo lalu.

Lampau di pertemuan kedua mereka.

Laki-laki itu berkata...

Bahwa ia budak.

Namun... budak?

Jika Wirya seorang budak, maka semua warga desa adalah budak dari penjarah Timur itu. Akan tetapi, klimaks dari ucapan itu tidak ia temukan sama sekali. Seakan budak yang dimaksud Wirya 'bukan' gelar budak seperti yang warga desa lain dapatkan.

Yeah, sekali lagi, jika Wirya adalah seorang budak, maka tidak ada alasan kenapa arwahnya masih harus tertahan di sini. Janggal dan juga aneh di saat yang bersamaan.

The RevelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang