BAB 2 : The Tunnel

45 38 49
                                    

[Edited]

Tiga hari sudah berlalu. Sekarang sudah masuk bulan Oktober. Tepatnya pada tanggal 1 Oktober tahun 2035.

Esther saat ini sedang berada di perpustakaan, mengelilingi setiap rak yang tata letaknya bahkan tidak pernah diubah semenjak sekolah ini dibangun. Bukan tanpa sebab ia di sini. Tujuannya datang bahkan tidak untuk membaca buku, melainkan mencari satu sosok yang sudah lama sekali tidak ia temui. Ya, sosok laki-laki berlesung pipi itu, siapa lagi jika bukan Wirya.

Sejak pertemuan terakhir kali mereka di perpustakaan, Wirya seakan lenyap tanpa jejak. Laki-laki itu tidak kunjung muncul meskipun ia terus datang dan menunggu. Tidak di mana pun, laki-laki itu raib dari pandangan Esther.

Entah Wirya yang memang 'sudah pulang' atau penglihatan Esther yang tertutup. Ia tidak tahu jawabannya, meskipun berulangkali ia meyakinkan diri pasti ada salah satu di antara keduanya yang terbukti.

Tapi yakinnya tidak berpihak pada opsi pertama. Pasalnya waktu itu Wirya pernah menegaskan kepadanya bahwa laki-laki itu tidak bisa kembali. Itu sebabnya ia percaya pada opsi kedua, yang memaparkan sugesti bahwa penglihatannya sudah tertutup.

"Ya? Wirya?" panggil gadis itu pelan di tengah keheningan perpustakaan. "Aku tebak kamu di sini. Tapi aku nggak bisa lihat kamu. Kalo itu emang terjadi, apa perlu aku buka indera keenam aku lagi supaya bisa lihat kamu?"

Hanya keheningan yang menjawab pertanyaan bak monolog Esther.

Kelihatan bodoh memang. Tapi itulah faktanya. Wirya tidak di sana.

Gadis itu pun menghela napasnya. Setelahnya, ia pun memutuskan melenggang begitu bel masuk mulai berbunyi.

Tap tap.

Buk!

Tak sengaja, sebuah buku jatuh ketika tak sengaja terkait baju seragam Esther.

Gadis itu menunduk demi melihat buku apa yang baru saja ia jatuhkan.

Owh, sungguh kebetulan yang nyata. Ternyata itu adalah novel yang ia pinjam tempo hari.

Berjongkok, gadis itu pun berhasil meraih benda padat persegi itu dan meletakkannya kembali ke rak.

Tapi sesuatu membuatnya berhenti. Sebuah tulisan yang terpampang di balik halaman pertama buku.

'Ayo bertemu di terowongan setelah hujan reda. -Wirya'

"Terowongan? Wirya yang nulis ini?" gumam Esther.

---

Di sinilah gadis berbandana kelinci itu. Sekolah sudah usai beberapa menit yang lalu. Jas hujan kuning sudah menempel rapi di tubuh mungilnya. Sementara payung putih transparan berada di genggamannya.

Langkah kecil itu berhasil membawa kaki terbalut ventela itu menapaki bebatuan basah dengan tanah becek di bawahnya. Esther melompat pelan, demi bisa memijak rel kereta yang sudah tidak dipakai lagi.

Tak jauh di depan, sebuah terowongan tua tampak berdiri kokoh di depan. Esther memberhentikan kakinya tepat di depan lubang setengah lingkaran dengan spot hutan di sisi kanan maupun kiri terowongan.

Tanaman merambat tampak menjulur ke mulut terowongan. Sementara kegelapan nun jauh di dalam terowongan seakan memberikan ucapan selamat datang kepadanya.

Tidak ada cahaya yang tampak dari mulut hingga kerongkongan terowongan. Hanya kegelapan pekat sert hawa dingin yang menjadi impresi terowongan tua itu kepada Esther.

Air hujan masih senantiasa mengguyur dengan rintiknya yang perlahan teduh. Gadis berjas hujan kuning itu pun melangkah masuk perlahan agar sedikit lebih mendekati mulut terowongan.

The RevelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang