BAB 4 : Desa Pohon

39 35 36
                                    

[Edited]

Esther membuka matanya begitu mendengar suara petir yang menyambar langit.

Gadis itu pun bergegas menegakkan tubuhnya ketika pemandangan di sekitarnya tampak di kedua matanya yang mulai menjelas.

Ia masih di terowongan. Tepatnya, ia tersandar di mulut terowongan dengan seragam yang masih senantiasa ia kenakan. Sekarang sudah gelap.

Esther pun melirik jam tangannya. Pukul satu malam.

Itu artinya tidak ada perbedaan dari waktu di masa lau dan sekarang. Detik yang sama, menit yang sama, dan jam yang sama.

Esther segera bangkit berdiri. Ia tatap dirinya yang kini masih mengenakan seragam sekolah.

Tapi minus payung, jas hujan dan juga tas sekolahnya. Jadi kejadian itu benar-benar nyata? Jika iya, maka tasnya tertinggal di dimensi berbeda darinya sekarang?

Haha, lucu.

Esther pun segera melenggang dengan cepat meninggalkan area rel kereta tidak terpakai itu menuju rumahnya.

---

Ini tepat hari ketiga usai surat izin sakitnya diberikan kepada wali kelasnya. Pada hari ini, ia memutuskan untuk masuk sekolah setelah demam menderanya setelah hujan-hujanan di terowongan waktu itu.

Sekolah telah usai sejak satu jam yang lalu. Kini jalanan rel kereta tua sudah kakinya pijak dengan perlahan, takut tergelincir oleh bebatuan tajam itu.

Setelah menghabiskan waktu satu jam penuh untuk makan dan mengerjakan tugas dengan mengebut demi mengatasi rasa penasaran akan terowongan tua itu, Esther sudah tiba di depan terowongan tersebut.

Kaos putih dan overall rok denim biru muda telah melekat di tubuh mungilnya. Tak lupa juga sneakers putih serta kaos kaki berwarna ungu muda turut menjadi pemanis pada gadis itu.

Kali ini langit cerah setelah siang tadi hujan turun cukup lama. Cahayanya yang terang memancar mengenai apa pun yang tidak terhalang sesuatu. Termasuk memancar ke wajahnya yang kini hanya terpoles bedak tipis.

Dengan satu tarikan napas, Esther pun mulai melangkah masuk.

Pria yang kemarin tidak muncul, barangkali belum muncul atau tidak akan muncul sama sekali. Persetan.

Perlahan tapi pasti, kini kakinya sudah berhasil menginjak tanah bagian dalam dari terowongan gelap itu. Gemanya menyentuh telinga Esther ketika kakinya mulai memijak tanah berbatu tersebut.

Semakin dalam dan semakin dalam, tapi Esther tidak kunjung berpindah dimensi. Lebih tepatnya, tubuhnya tidak menabrak cahaya putih itu. Faktanya, ia masih tetap di sana. Berjalan dengan langkah hati-hati, takut-takut sesuatu muncul dari arah depannya.

Esther meneguk ludahnya semakin dalam kakinya melangkah. Udara yang semakin dingin membuat tubuhnya seketika berkeringat. Tapi tidak ada apa pun yang terjadi. Ia tidak berpindah dimensi sekalipun.

Lalu, apakah kesempatan itu hanya kemarin? Apakah kesempatan itu hanya datang sekali? Bahwa ia bisa melompati waktu dan berkunjung ke masa lalu? Jika iya, maka Esther benar-benar kecewa. Mengingat ia belum sepenuhnya puas berada di sana.

Esther pun berhenti melangkah.

Ponselnya bergetar terus menerus di saku. Gadis itu pun segera mengeceknya dan telah tertera di sana bahwa grup khusus kelompok Bahasa Inggrisnya sedang ribut kini.

"Astaga," decak Esther.

Ia melupakan fakta bahwa sore ini ia ada tugas kelompok dengan teman-temannya.

The RevelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang