BAB 3 : Jakarta, Nowhere.

43 36 46
                                    

[Edited]

"Wirya?" sebut Esther begitu wajah itu tampak familier di hadapannya. Itu Wirya!

"Siapa kamu?" tukas laki-laki itu dengan kening berkerut dalam. "Kenapa kamu tahu namaku? Siapa kamu!"

Esther berjengit.

"Aku Esther. Aku kenal kamu."

Wirya bergeming, menatap wajah gadis bernama belakang Georgina itu dengan tatapan aneh.

"Kamu jatuh dari langit, kan? Dari masa depan? Tahun berapa?" hujam Wirya dengan banyak pertanyaan. Tapi, ucapannya berubah lirih saat pertanyaan ini meluncur, "Bagaimana kamu kenal aku?"

"Jadi ini bener tahun 2008?"

Hening sejenak, hingga tak lama Wirya pun menganggukkan kepalanaya sebagai jawaban.

Luruh. Esther berhasil luruh pada saat itu juga. Kakinya mendadak lemas, seperti jelly. Namun hal itu tidak menyebabkan ia jatuh ke tanah. Tidak, hanya saja Esther tidak menyangka bahwa ia akan di sini. Memecah ruang dan waktu!

"Gimana bisa?" gumam Esther seraya menatap nanar.

Wajah Wirya masih sama seperti yang ia lihat terakhir kali. Hanya saja, pakaiannya... lusuh dan tidak terawat.

"Bilang ke aku, gimana kamu bisa kenal aku?"

Esther menutup kedua telinganya. Mencoba sekali lagi untuk menampik hal tidak masuk akal ini. Time travel? Terowongan itu bisa membuatnya melakukan perjalanan waktu?

Bagaimana bisa?

Esther mendongak, menatap wajah menuntut tanya dari sosok Wirya yang kini tampak berpenampilan berbeda.

Gadis itu pun melangkah maju, seraya menyentuh tubuh itu. Membuat Wirya refleks menepisnya dengan pelan.

Yeah, Wirya dapat disentuh di tempat ini. Di 27 tahun dari sekarang, laki-laki itu hidup sebagai seorang manusia.

"Kamu manusia," ujar Esther nanar.

"Apa?"

Esther meneguk ludahnya. "Aku bertemu kamu di perpustakaan SMA Anyelir, dua puluh tujuh tahun di masa depan. Tahun 2035."

"Mesin waktu diciptakan di masa depan?" tanya Wirya.

Esther menggeleng.

"Nggak."

"Terus?"

"Aku ke sini tanpa sebab, Wirya!" Kedua mata gadis itu berkaca-kaca. "Aku cari kamu, masuk terowongan dan..."

"Dan apa?"

"Dan langsung bertemu dengan tentara dan kekacauan itu!"

---

Esther melepas jas hujannya dan meletakkannya ke punggung kursi di sampingnya. Payungnya hilang entah di mana, barangkali tertinggal di tengah jalan ketika tentara-tentara itu mulai mencetuskan senjata ke arahnya.

Kini ia sudah duduk di sebuah meja makan di sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman.

Berbagai macam suara ia tangkap dari ruangan ini—tepatnya, suara-suara itu sampai ke sini melalui jendela yang terbuka lebar di belakangnya duduk.

Suara-suara obrolan dari sesama warga yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

Rumah ini berpenampilan seperti sebuah pondok dengan sekat anyaman sebagai pembatas ruangan. Persis rumah jaman bahari yang sering ia lihat di internet ketika sedang mengerjakan tugas sejarah.

The RevelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang