BAB 15 : Bayar Dosamu

38 30 14
                                    

[Edited]

"Kenapa?" tanya Esther dengan intonasi yang terdengar sangat rendah. Wirya berhenti dari jalannya, hanya saja laki-laki itu tidak menoleh. "Kenapa aku nggak boleh bergaul sama Wirya?"

Laki-laki itu bergeming tanpa menajawab barang sepatah kata pun.

"Kamu nggak trauma?"

"Kenapa trauma? Aku pernah lihat kekerasan lebih dari itu. Maksud aku, aku lihat... ada adegan yang lebih keji dari itu."

Wirya terdiam. Ya, laki-laki itu tahu ke mana arah pembicaraan ini akan mengalir.

Tepatnya, ke dua puluh tujuh tahun yang lalu. Tepat di lorong lantai bawah tanah Pak Kades saat itu.

"Aku bakal lindungi Esther. Itu sebabnya aku kembali."

"Kalo gitu, lupakan kejadian semalam, agar Wirya bisa temenan sama aku."

Terdiam sejenak, laki-laki itu lalu berkata, "Kalo itu yang kamu mau..." Wirya pun mengangguk, tersenyum tipis.

Dan setelah itu Wirya pun melenggang meninggalkan lobby. Meninggalkan Esther yang masih terpaku di tempat dengan sorot matanya yang nanar menatap punggung laki-laki yang perlahan lenyap dari jarak pandang mata gadis itu.

---

"Wirya? Wirya? Halo," sapa seorang gadis dari ambang pintu kelas, sembari melambaikan tangan kanannya. Siapa lagi jika bukan Fitri. Si senior kelas dua belas.
Wirya yang hendak keluar lantas berhenti dengan wajah kalemnya.

"Eh, siapa ya?"

"Aku... Fitri. 12 Mipa 4."

"Oh..."

Usai menyunggingkan oh panjang, laki-laki itu pun melenggang melewati ketiga gadis itu. Tak lupa ia berikan senyum manis kepada Esther yang kebetulan sedang duduk di bench panjang tepat di seberang kelas.

Melihat itu lantas membuat ketiga gadis tersebut seketika terperangah di tempat.

---

Brughhh!

"Aw!"

Tubuh Esther terbanting ke atas tumpukan kardus. Debu-debu lama seketika menghambur ke seragamnya yang putih bersih.

Salah satu temannya Fitri melangkah mendekat setelah berhasil mengunci pintu gudang.

Sementara sang pemimpin pertemanan—Fitri—sudah tampak berdiri di hadapan Esther dengan kedua tangan bersidekap di depan dada seraya menatap wajah Esther dengan sorot kesal yang tiada tara.

"Bolot, ya. Udah dibilangin dari kemarin buat jangan deketin Wirya. Masih aja."

"Kenapa kamu ngatur-ngatur?" cetus gadis Georgina itu dengan nada sinis.

Mendengar cetusan bernada sinis dari adik kelasnya tersebut sontak membuat Fitri segera melengos seraya menunjukkan wajah terpana.

"Gila ya ini orang."

Setelah itu, usai mendapat titah dari sang pemimpin komplot, kedua orang itu pun bergerak maju untuk menginjak-injak tubuh Esther menggunakan sol sepatu. Sehingga membuat gadis itu segera mengangkat kedua tangannya dan menjadikannya sebagai benteng.

"Mampus! Mampus lo," seru ketiga orang itu seraya tertawa-tertawa devil.

Brugh! Brugh! Brugh!

Tendangan demi tendangan terus mengenai tubuh Esther. Membuat seragam itu lantas dipenuhi oleh bekas tapak sepatu yang membekas di seragam putih abu-abunya.

Bugh!

Itu tendangan terakhir. Esther meringkuk di sana, masih dengan kedua tangan yang membentengi titik lemah di wajahnya.

The RevelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang