BAB 22 : The Proven Truth

35 32 18
                                    

[Edited]

Hujan turun saat Ruel baru saja tiba di rumahnya. Laki-laki itu pun segera saja memacu kendaraannya masuk ke dalam garasi. Ia lepas helm yang menempel di kepalanya lalu menyantolkannya ke kaca spion kendaraannya.

Laki-laki itu pun mulai melangkah memasuki rumahnya yang benar-benar besar dibandingkan rumah-rumah lainnya yang ada di perkomplekan elit tersebut.

Kreet...

Begitu suara derit yang terdengar ketika laki-laki itu baru saja mendorongnya. Tanpa membuang waktu, Ruel pun melenggang masuk ke dalam.

Tak butuh waktu lama untuk laki-laki itu sampai di dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Tapi baru saja tangannya terangkat untuk menyentuh kenop pintu, sebuah suara yang berasal dari lantai satu menyapanya.

"Esther lagi?" dengan nada suara dingin. Ruel bergeming, tidak berniat untuk menyahut sama sekali. "Udah pasti dia nolak kamu," tandas suara itu sekali lagi.

Wanita itu—mamanya Ruel—mengembuskan napasnya dengan sabar.

"Udahlah, sayang. Mama nggak setuju kamu sama dia. Dia nggak cocok sama kamu. Dan juga, dia nggak kaya."

"Ruel nggak cari yang kaya, Ma. Ruel hanya pengen gadis biasa yang nggak nuntut banyak hal, kayak Esther."

Dan setelah berkata seperti itu, laki-laki itu pun segera melenggang masuk ke dalam dan menutup pintu kamarnya.

---

Wirya keluar dari rumah itu usai menyelesaikan semua perbincangan asingnya dengan anggota keluarga tersisa dari keluarga Haryadi Siregar. Laki-laki itu segera melenggang cepat masuk ke dalam mobil tanpa menutup pintu.

Tapi baru saja laki-laki itu membuka pintu mobilnya, wanita berkepala empat itu segera berteriak memanggilnya, yang sontak membuat Wirya berhenti.

"Kenapa kamu bilang begitu ke nenek?" tanya wanita itu bertanya layaknya menuding laki-laki yang berbeda jauh usia dengannya itu. "Kamu berkata seolah tahu segalanya tentang keluarga kami. Siapa kamu?"

Wirya sejenak terdiam, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Cukup lama sehingga memakan satu menit lebih sebelum bibir itu terbuka dan berkata, "Ini akan menjadi kali terakhir kita bertemu. Nggak ada alasan kenapa saya harus menjawab pertanyaan kamu."

"Tapi saya tuan rumah, saya berhak mendapat jawaban dari kamu meskipun kamu nggak mau menjawabnya."

"Fokuslah pada hidupmu. Saya nggak ada sangkut pautnya dengan keluarga kamu, paham?"

"Saya yakin tujuan kamu datang ke sini untuk memastikan sesuatu. Tapi sesuatu yang mungkin nggak saya tahu apa itu."

Wirya tersenyum, tersenyum sinis. "Kamu nggak bisa memaksa saya hanya karena saya datang ke rumah kamu."

"Saya nggak pernah memaksa kamu. Yang saya lakukan sekarang adalah menggunakan hak saya sebagai tuan rumah di rumah yang kamu datangi."

Lagi, senyum sinis kembali laki-laki berlesung pipi itu sunggingkan.

"Ya, saya memastikan," jawab Wirya pada akhirnya. "Memastikan bagaimana sebuah keluarga yang memiliki tradisi kuat berakhir dengan kematian yang hanya menyisakan dua anggotanya."

Wanita itu terhenyak.

"Saya penasaran, siapa kamu, siapa kamu, dan siapa kamu."

"Saya adalah kutukan yang seharusnya sudah lenyap sejak dahulu."

Dan hal selanjutnya, laki-laki itu pun segera masuk ke dalam mobil. Laki-laki itu tanpa aba-aba segera menjalankan mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi meninggalkan pekarangan itu.

The RevelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang