22¦ Tangis

1.3K 181 19
                                    

Udah baca gratis, jangan lupa Vote dan komennya kakak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Udah baca gratis, jangan lupa Vote dan komennya kakak. Follow Author-nya sekaligus ye.

Selamat membaca
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Italic= Flashback

"DASAR ANAK PEMBAWA SIAL DAN ONAR! KAU LAGI-LAGI MENGABAIKAN ABANGMU?!"

Teriakan ibu serta rotan yang mendarat keras di tubuhnya berulang kali mengundang tangis terdalam dari seorang Nino. Tubuhnya bergetar hebat. Lagi dan lagi ia dihukum untuk sesuatu yang bukan salahnya. Bahkan tak pernah ia perbuat.

"Kenapa kau malah bermain dengan geng nakalmu itu, hah? Kau meninggalkan Andre dan membiarkan dia kesepian lagi?

SPLAAASSSH!

"Argggh, Ma, sa-sakit! Aku tak meninggalkan Bang Andre, aku mengantarnya tadi, aku tak meninggalkannya!" Nino menjerit frustrasi. Berdiri sambil memeluk tubuh dari pukulan rotan dengan air mata mulai mengalir membasahi wajah hingga bulirannya terjatuh ke lantai. Sementara Andre?

Andre menampakkan tampang datarnya. Seolah tak mau tahu dengan masalah Nino dan Ibu. Seakan tak merasa bersalah atas kejadian ini. Ibu tak tahu saja, kalau Andre menerbitkan senyum kecil tak terdefinisi.

"Omong kosong apa lagi, hah? Jelas-jelas Andre menelpon ibu dan bilang kau menjauhinya dan bermain bersama gengmu seharian penuh! DASAR ANAK SIALAN, HARUSNYA KAUMATI SAJALAH!"

Bentakan Ibu disertai cambukan rotan itu semakin menderaskan air matanya. Tamparan kuat yang mampu menghancurkan sebuah harapan. Sebuah kalimat, yang dapat memporakkan semangat hidupnya dalam mengarungi dunia.

Satu saja pertanyaan dari lubuk hati paling dalam Nino, apa salahnya? Apa salahnya sampai-sampai Andre menciptakan sebuah kebohongan?

Sejenak pupil mata Nino menangkap keberadaan sang abang sembari menahan sakit dari cambukan rotan Ibu. Bungkam, hal yang ia lakukan sekarang. Terlebih melihat melihat Andre membuang muka, juga ketika cambukan keras itu masih melayang di tubuhnya, bibir Nino kelu. Serasa dipaksa tuk diam membisu. Hanya cairan bening matanyalah yang mampu menemani.

Selesai sudah ibu memukul Nino. Napasnya memburu seirama dengan rasa murka yang belum habis. Terus berkata tajam, "Kau! Aku tidak peduli seberapa banyak gengmu atau seberapa najis dirimu. Tapi kau harus wajib menjaga abangmu!"

Ibu kembali ke dapur, berkutat dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan Nino, ia terisak kecil dengan tatapan sayu. Melirik sang abang yang berbalik menuju kamarnya.

Satu kalimat saja, beberapa kata, mampu membuat pengharapan seseorang sirna. Dunianya teramat kejam. Tak tahu apa tujuan hidup jika dunia tak pernah berpihak padanya. Ingin menyusul Bunda saja, semesta tak merestu.

Begitulah lelaki berkacamata itu. Secercah harapan hidup seketika sirna bagai debu dibawa angin. Tak ada lagi harapan, tak ada lagi tujuan. Seolah mereka senang jika ia meninggalkan dunia.

Haruskah Mati? √PART LENGKAP [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang