36¦ Getaran

1.3K 176 7
                                    

Hai gengsss, nungguin ya? 😉

Makanya, di-follow Author-nya supaya tau kapan info update cerita. Hehe, gak maksa juga sih:)

Maaf ye, tadi mati lampu. Jadinya kagak bisa update cerita.

Btw kelen sayang sama siapa nih di dalam cerita ini? Atau ... sayang sama Author-nya? >_<

Keteranga:
|•> Italic/ Tulisan miring= masa lampau kecuali kalau ada tulisan yang memberitau kejadiannya adalah kejadian masa lalu

|•> Kalau Lama update, maafin ya. Soalnya Author-nya udah kelas 12. Jadi kadang sibuk persiapkan diri supaya bisa masuk kuliah impian gengss :)

 Jadi kadang sibuk persiapkan diri supaya bisa masuk kuliah impian gengss :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ya udah, jangan lupa beri vote dan komen ya

Saranghaeyo

Selamat membaca
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _


Kicauan burung mengisi suasana di pagi hari nan sejuk penuh damai. Jangan lupakan semilir angin selalu menerobos tubuh-tubuh manusia. Tak terkecuali pada seseorang yang tengah bersiap ke sekolah.

Di waktu kancing telah menyatu di lengan blazer-nya, Nino menepuk-nepuk seragamnya dari debu. Tak lupa memakai kacamata, lalu menggandeng tasnya.

Sesaat berjalan menuruni anak tangga, keadaan amat sepi. Hanya ada Ayah yang tengah menonton TV di ruang keluarga. Itu pun dengan siaran membosankan.

Sejenak Nino terdiam di tempat seraya memandangi sang ayah. Ia berpikir keras ketika mendapatkan raut muka Ayah yang cukup menyedihkan. Ia menerka, raut itu tercipta akibat kejadian Ibu membawa pria asing semalam. Tapi tunggu, bukankah hanya Nino yang melihat?

"Ayah, aku pergi," ucap Nino mengakhiri pemikirannya. Remaja lelaki berkacamata itu sudah bisa menebak kalau ucapan pamitnya tak akan dibalas. Seperti biasa akan begitu. Setiap ia pamit entah kepada siapa, penghuni rumah akan cuek, ataupun hanya membalas dengan dehaman.

Maka dari itu, ia segera menggerakkan kakinya melangkah keluar. Namun ...

"Iya, hati-hati di jalan!"

Suara serak penuh sendu milik Ayah seketika menghentikan langkah kaki Nino. Matanya tak mampu  berkedip. Entah mengapa, desiran hebat terasa kentar di benak. Walau pandangan Ayah tetap tertuju pada TV, suara tadi seakan membuatnya mendapat emas. Baru kali ini Ayah membalas ucapan pamitnya.

Tak lama dari itu, Nino mengerjapkan mata. Seutas senyum hampir terbit kalau Nino tak mengulum bibirnya. Takut kalau ucapan tadi bukan untuknya, Nino memilih berangkat ke sekolah secepat mungkin.

Selepas kepergian Nino, Ayah kembali membiarkan sebutir cairan bening mengalir mulus dari pelupuk matanya. Tangan kanannya mengusap wajah.

"I-ini semua salahku. Ka-kalau aku tak berbuat aneh dan tidak menuruti apa kata nenek jahat waktu itu, pasti keluargaku tak akan berantakan. Ka-kalau aku tak melakukan hal salah, pasti istriku masih ada di sisiku," lirihnya tersedu, dengan suara serak.

Haruskah Mati? √PART LENGKAP [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang