39¦ Iri, Takut, Cemas ...

1.5K 163 15
                                    

Hai, pada Nungguin yaaaa? 👋👋💗

Makanya, jangan lupa follow Author-nya biar tahu kapan update cerita.

Hehe, kangen Nino atau kangen Author-nya?

Jangan lupa juga ya, Vote dan Komennya.

Selamat membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat membaca

Baca sampai akhir, ya. Dan semoga suka :)

Italic/Tulisan miring= FlashBack
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Hawa sejuk pagi hari beralun lembut melewati tubuh-tubuh manusia. Dinginnya tak terlalu membuat mereka mengeratkan jaket. Seperti halnya Nino. Remaja lelaki berjaket abu-abu pekat lengan panjang, baru saja keluar dari mobil.

Nino berjalan santai melewati dua anggota keluarganya. Masuk ke dalam lingkungan sekolah seolah tidak memiliki hubungan dengan ayah serta saudaranya. Namun, langkah kakinya terhenti ketika suara ayah menginterupsi. Ayah mengatakan kalau Nino harus menjaga sang abang.

Remaja berkacamata itu memutar bola mata malas setelahnya berkata, "Bukannya aku anak yang nakal di mata kalian? Bukannya aku tukang bully? Bukannya aku pembuat onar?"

"Dan bukannya aku sering mengganggu anak lain, terutama ... Bang Andre?" Nino melirik sang abang. Kemudian menambahkan ucapannya, "Lantas kenapa harus aku yang menjaganya, hah?"

Ayah geram. "Kau!? Di mana adabmu, hah? Syukur aku memberimu tumpangan kalau bukan karena menjaga abangmu sendiri!"

Seolah menulikan pendengarannya, Nino berbalik. Berjalan santai memasuki area sekolah, di mana tak banyak juga tak sedikit murid yang berlalu lalang.

Jika Andre tidak mencegat sang ayah, mungkin Ayah sudah memporak-porandakan sekolah. Sikap si bungsu sudah kelewat batas baginya.

"Ayah, aku bisa sendiri."

Dengan tatapan sayu entah tulus atau dibuat-buat, perkataan Andre mampu memadamkan gejolak murka ayah. Alhasil, pria berkemeja biru dongker itu menghela napas.

"Adikmu itu selalu buat ayah emosi saja."

Ayah melirik Andre. Kemudian pria tersebut berjongkok sembari memberi ponsel. "Ini ponselmu. Hubungi ayah jika ada masalah, oke?"

Kepala Andre mengangguk kecil seraya menerima benda canggih itu. Entah karena sejuta misi yang berseliweran di kepala, Andre tidak menyadari usapan Ayah di kepalanya. Tatapannya fokus kepada ponsel yang ia genggam.

Namun, dunia seolah tak peduli terhadap seorang anak. Anak yang bersembunyi di balik tembok, menatap penuh iri kemesraan dua orang itu. Mencoba untuk menghapus segala rasa yang mengganggu, anak itu bergegas ke kelas.

Di saat mobil ayah melaju meninggalkan sekolah, Andre memutar kursi rodanya. Mendorongnya perlahan, akan tetapi lajunya terhenti di tempat.

Bisa Andre lihat dengan mata telanjang, Lea menyapa Nino dan kedua orang itu berjalan bersama. Menciptakan raut kebencian di wajah sang abang. Tak sangka, jika kedua tangannya mengepal keras.

Haruskah Mati? √PART LENGKAP [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang