6¦ Kesepian

2.7K 319 3
                                    

Haloha yeorobun
Kembali lagi nih
Jangan lupa follow, vote, dan komen ya :)

Haloha yeorobunKembali lagi nihJangan lupa follow, vote, dan komen ya :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _



Angin malam yang bersilir tak kuasa 'tuk menggetarkan pertahanan seseorang. Pun kerlip bintang tak mampu memengaruhi seseorang yang tengah duduk di pojokan kamar. Sinar rembulanlah yang meneranginya. Menerangi di tengah kegelapan.

Orang itu--Nino--duduk di pojokan kamar, memeluk erat kedua lutut di depan dada. Sementara pandangannya fokus ke depan membiarkan buliran-buliran cairan kristal meleleh membasahi pipi. Juga kacamata yang biasa dipakai, kini terletak asal di lantai. Kejadian tadi, terus-terusan berputar di kepalanya. Mengundang getaran kecil di bahu. Begitu membebani pikiran. Padahal dia tak berbuat salah sedikit pun.

Ayah, Ibu, Karina, Andre, Nino, dan satu lagi, nenek, tengah sibuk menghabiskan makan malam mereka. Kumpul di satu meja dan saling menjalin tali kasih.

"Wah, cucu-cucu nenek hebat banget ya. Yang satu jadi selebgram, yang satu berprestasi di sekolahnya." Tangan nenek bergerak maju mengusap pucuk kepala Karina serta Andre. Tak peduli pada Nino yang mungkin melirik.

Tak berharap tinggi, Nino perlahan mengangkat kepala. Memperhatikan tindakan nenek dari pihak ayah tampak senang dengan prestasi Andre dan Karina.

Nenek menatap balik Nino, seketika berdecak malas. "Apa kau lihat-lihat, beban keluarga?"

Mendadak kepala Nino menunduk lagi. Fokus kepada makanannya agar tak diamuk. Padahal ia tak berbuat aneh. Diam dengan pikiran yang berkecamuk, Nino berusaha keras memblokir suara-suara pujian nenek kepada Andre dan Karina yang memaksa masuk ke telinganya.

Seolah tak menganggap keberadaan Nino, si nenek semakin gencar memuji dua saudara Nino ini. "Akh, cucu-cucu nenek ini sangat nenek sayang." Ibu dan ayah tersenyum melihat perlakuan ibu mereka terhadap anak-anaknya.

"Bukan seperti anak berkacamata yang ada di depanku ini! Tidak berprestasi, beban keluarga lagi! Malu aku punya cucu seperti dia!" hinanya semakin menegarkan Nino. Nino tak mau terlihat lemah. Ia harus kuat.

"Hahaha, sudahlah, Ibu. Ibu nanti pusing kalau membahas dia. Dia tidak ada apa-apanya di keluarga ini. Kalau bukan karena permintaan istri lamaku, aku tak akan menampung anak ini juga."

Bayangkan jika orang tuamu berkata sedemikian rupa. Bayangkan jika ayah kandungmu melontarkan kata-kata pedas. Sakit bukan? Seakan di dalam diri ada yang panas walau bukan penyakit. Seperti itulah yang Nino rasakan. Tetap pada posisinya. Tak menangis, tak juga menampakkan mata kacanya. Tegar? Setidaknya dia berusaha kuat di depan keluarga sendiri. Keluarga yang mematahkan sebuah harapan?

Alhasil, mereka semua kembali menghabiskan makan malam mereka. Sedangkan Nino, juga ikut menghabiskan makan malamnya dan tak berani menatap siapa pun. Terlampau takut memandang yang lebih tua darinya.


Haruskah Mati? √PART LENGKAP [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang