13¦ Mereka membenciku

1.4K 212 4
                                    

Kalau sudah baca:)
Jangan lupa kasih tanggapan dan tekan bintangnya ya yeorobun ^_^

Selamat membaca Jangan bosan baca sampai ending nanti ya karena akan ada rahasia keluarga Nino yang akan terbongkar yang mungkin bikin kelen geleng geleng kaki--ekh maksudnya geleng geleng kepala_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat membaca
Jangan bosan baca sampai ending nanti ya karena akan ada rahasia keluarga Nino yang akan terbongkar yang mungkin bikin kelen geleng geleng kaki--ekh maksudnya geleng geleng kepala
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _


Selepas menyusun buku-bukunya yang tak sempat dibereskan kemarin, Nino melirik kalender. Dilihatnya tanggal merah yang terpampang nyata dan helaan napas, terdesis dari mulutnya.

Sesudah memasukkan buku-buku itu ke dalam lemari, Nino keluar. Berniat mengambil minum usai merapikan kamarnya di pagi hari ini. Namun, ketika kakinya menuruni anak tangga, langkahnya terhenti kala mendapat pemandangan yang mungkin bisa memporak-poranda hati. Bagaikan patung yang tak berdaya, ia melihat keluarganya tengah berbagi kasih. Ibu dan Ayah tampak memberi kado pada Andre dan Karina. Sesuatu yang terlintas di otaknya, sudah tentu mustahil terjadi.

Ingin rasanya Nino berbalik ke kamar, tapi sudah telanjur dilihat mereka. Lantas, Nino tersenyum kecut. Walau ia tak dianggap pun, ia tak melupakan statusnya sebagai anak. Harus berbakti walau hati dan tubuh yang menjadi korban.

"Akh, Karina, Andre, sebaiknya kalian membawa hadiah kalian ke kamar. Takut ada yang cemburu terus minta-minta lagi," kata Ibu memberi aba. Lekas Andre dan Karina menyembunyikan hadiah mereka di balik punggung, kemudian berjalan melewati sang adik yang terdiam menuju kamar masing-masing.

Hei, pikiran macam apa itu? Nino tak berniat meminta hadiah. Cemburu? Hanya sedikit. Ia lebih cemburu ketika orang tuanya lebih menyayangi Kakak dan Abangnya. Tapi sudahlah, Nino hanya ingin tenang.

Gegas Nino menuruni anak tangga dan berjalan ke dapur. Meminum cairan bening lalu terdiam sebentar dengan pikirannya. "Akh, baik aku mandi," gumam Nino meletakkan gelas.

Kembali ke kamarnya demi mengambil baju, lalu berjalan ke kamar mandi. Setelah menutup pintu dan menggantung baju gantinya, Nino membuka baju serta kacamata. Sengaja menatap luka-luka di tangan yang mungkin sudah mengering.

Namun tak mau memanaskan kepala dengan beban hidupnya, Nino dengan cepat mengambil segayung air, kemudian mengguyur tubuh. Sedikit terlontar desisan begitu air melewati celah luka. Tapi sakit ini hanya sebentar, bahkan sakit di dunia nyata lebih perih dibanding luka-luka ini. Serasa luka-luka ini adalah penawar mujarab baginya.

Asik mandi, kepala Nino memaksa menayangkan segala kenangan suram. Sekuat tenaga Nino menggeleng kepala agar kenangan itu hilang, tapi ingatan itu makin menjadi. Perlahan, dari matanya mengalir sebulir air mata, juga kedua tangannya secara refleks menjambak pelan rambutnya.

"Akh, kenapa kalian tidak mau hilang!"

Nino menggelengkan kepala. Melepaskan kedua tangannya di saat merasa kenangan itu mulai samar dari kepalanya. Ia lanjut mandi. Namun, bayangan itu kembali menghantui. Membuat Nino seketika takut dan saat itu juga memukul-mukul dadanya.

Haruskah Mati? √PART LENGKAP [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang