41

1.4K 160 0
                                    

Sebentar panas, sebentar hujan deras.
Kadang langit keemasan, sesekali menggelap.
Jangan tanya semburat apa yang terpancar nanti sore,
belum tentu aku bisa menemuinya.



Setelah sholat subuh, aku kembali membaringkan diri di tempat tidur. Mataku masih terasa berat. Sebenarnya sejak pukul sebelas malam aku sudah berbaring di atas kasur, tapi aku baru bisa tidur sekitar pukul dua pagi. Gara-gara membantu Damar melamar Anita di Taman Pelangi, aku jadi ikut-ikutan sumringah seolah-olah aku lah yang dilamar. Perasaan sumringah seperti itu sangat mudah menulariku, begitu mudah juga membuatku terjaga.

Aku menguap untuk yang keempat kalinya subuh ini. Peristiwa tadi malam kembali berkelebatan di benakku. Lampu-lampu indah warna-warni yang tersebar merata di Taman Pelangi menciptakan nuansa romantis. Walaupun ramai pengunjung di beberapa titik, Damar dengan cekatan mengajak Anita ke dekat kolam yang mengelilingi Monumen Jogja Kembali. Pinggir kolam itu dihiasi lampu-lampu berbentuk bunga Teratai dengan daunnya yang bulat-bulat. Semburat pink dan hijau dari lampu-lampu itu menciptakan suasana yang sulit untuk dilupakan.

Ketika aku muncul dari salah satu food stall yang ada di dekat situ sambil membawa buket yang terdiri dari hydrangea dan beberapa mawar berwana pink, Anita tampak begitu terkejut. Tapi keterkejutannya itu bukanlah apa-apa dibandingkan dengan keterkejutannya ketika Damar menyerahkan buket itu kepadanya lalu berlutut di depannya. Anita membelalakkan matanya dan segera menutup mulutnya yang menganga dengan buket itu. Damar belum selesai bertanya ketika Anita dengan tidak sabar menjawab dia bersedia menikah dengannya. Matanya berkaca-kaca ketika Damar memakaikan cincin emas di jari manisnya. Beberapa pengunjung yang kebetulan lewat di dekat situ sempat menyoraki mereka berdua. Tadi malam indah sekali, lebih indah dari adegan film komedi romantis mana pun yang pernah aku tonton. Aku menguap sekali lagi sebelum akhirnya tertidur dengan senyum menghiasi wajahku.

Pukul tujuh alarm ponselku berbunyi nyaring. Aku terbangun dengan keringat yang membasahi dahi, leher, dan punggungku. Tidur yang hanya berlangsung dua jam tadi menghasilkan mimpi buruk yang benar-benar terasa nyata. Bangun siang pada hari Minggu yang biasanya membuatku senang, kali ini justru membuatku resah.

Dengan langkah gontai, aku menuju kamar mandi. Melihat air di bak mandi justru semakin memperjelas adegan demi adegan mengerikan di mimpi tadi. Aku buru-buru menyelesaikan mandiku. Setelah mengenakan celana jins selutut dan kaos oblong berwarna pink, aku mengunci pintu rumahku lalu berjalan kaki menuju rumah Bulik Asmi. Lama-lama aku bisa gila kalau sendirian di rumah. Mimpi tadi itu benar-benar mengusikku.

"Tumben pagi-pagi ke sini, Yu. Air PAM mati lagi?" sapa Bulik Asmi yang sedang merapikan semak mawar yang ada di pekarangan rumahnya.

"Saya sudah mandi, Bulik. Masak nggak kelihatan?"

Bulik Asmi terkekeh. "Sudah makan belum?"

"Nah, itu baru betul, Bulik. Saya ke sini mau numpang sarapan," jawabku sambil nyengir.

"Bulik masak oseng kentang sama telur ceplok tuh. Dulu kalau Ibumu masak oseng kentang, makanmu pasti nambah."

"Oseng kentang Bulik sama enaknya sama buatan Ibu," kataku sambil membantu Bulik Asmi mengumpulkan ranting-ranting yang berserakan di bawah semak mawar kesayangannya.

Setelah mencuci tangan, kami langsung menuju ruang makan yang perabotnya didominasi kayu jati. Dulu, setelah makan malam selesai, hampir setiap hari aku dan Laras membantu Bulik Asmi untuk membersihkan meja yang bentuknya bulat itu. Karena kami tidak punya meja belajar, kami selalu mengerjakan PR di meja itu.

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang