34

1.3K 172 1
                                    

Bau bangkai hewan menyeruak, menusuk hidungku.
Tak ada bangkai di bawah meja, tidak juga di balik lemari.
Lalu apa ini? Kenapa busuk sekali?
Ah, ternyata bau ini muncul dari mulut para penggunjing!


"Yu, kamu marah?" tanya Mbak Maya yang mampir ke ruanganku setelah bel pulang berbunyi.

"Marah kenapa, Mbak?" tanyaku datar.

"Karena aku nggak ngasih tahu kamu tentang foto-foto itu."

Aku menutup laptopku dengan kasar. Aku tidak perduli kalau inventaris kantor itu rusak. Sekalian saja rusak, sama rusaknya dengan reputasiku. "Siapa yang buat grup itu?"

"Anak HRD."

"Damar?"

"Bukan Damar. Tapi memang dia yang minta supaya kamu nggak dimasukkan ke grup itu."

"Oh ya? Kira-kira kenapa Damar nggak mau kalau aku dimasukkan ke grup itu?"

"Untuk menjaga perasaanmu."

"Menjaga perasaanku?" tanyaku getir sambil menyugar rambutku dengan jari-jariku. Frustasi! "Dia membiarkan foto-foto itu beredar di grup WA. Dia membiarkan mereka menggosipkanku. Itu yang namanya menjaga perasaanku? Logikanya di mana, Mbak?"

"EO-nya mengirim foto-foto itu langsung ke Wulan. Dia yang meneruskan foto-foto itu ke grup."

"Dan Damar mengijinkan stafnya melakukan itu tanpa ijinnya?"

"Foto itu sudah terlanjur terkirim ke grup waktu Damar tahu. Dia sudah minta Wulan untuk menghapusnya, tapi beberapa orang sudah terlanjur mengunduhnya."

"Kenapa Mbak ikut-ikutan diam saja?"

"Sama kayak Damar, aku nggak mau kamu sedih. Walaupun niat mereka cuma bercanda, komentar anak-anak di grup itu nggak enak didengar, Yu." Mbak Maya mengetuk-ngetukkan bolpoin di atas mejaku. Dia tampak jengah. "Aku tahu saat ini kamu marah sama Jason. Kamu marah sama mereka yang menggosipkanmu. Kamu juga marah dengan keadaan. Tapi kamu mau marah sampai kapan?"

Aku menggigit bibir bawahku. Tenggorokanku tercekat. Sebentar lagi air mataku pasti menitik.

"Ayolah, Yu. Jangan marah lagi, apalagi marah sama aku dan Damar. Kalau pun foto-foto itu nggak tersebar di grup WA, mereka tetap akan menggosipkanmu dengan Jason. Mereka melihat kalian berdansa dengan mata kepala mereka sendiri."

Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Aku mulai terisak. Apa yang dikatakan Mbak Maya memang benar. Mereka melihatku dan Jason berdansa malam itu secara langsung. Itu saja sudah cukup untuk menjadi bahan gosip untuk mereka. Jason tidak berpikir panjang ketika mengajakku berdansa. Dansa bodoh yang memperparah desas-desus tentang kedekatanku dengannya.

Mbak Maya mengelus-elus punggungku, mencoba menenangkanku. "Sudahlah, Yu. Paling seminggu lagi gosip itu akan basi. Mereka akan menemukan hal lain lagi untuk digosipkan."

"Mungkin mereka akan menemukan hal baru untuk digosipkan. Tapi reputasiku nggak akan kembali seperti semula, Mbak." Tanganku meraih tisu yang ada di atas meja lalu menyeka cairan yang keluar dari hidungku.

"Nggak perlu dengerin omongan orang yang nggak mengenalmu. Nggak perlu dengerin omongan orang yang nggak suka sama kamu. Yang paling penting adalah pendapat orang-orang yang sayang sama kamu, orang yang benar-benar mengenalmu luar dalam."

Aku kembali terisak mendengar kata-kata Mbak Maya. Hancur sudah reputasi yang kubangun selama lima tahun lebih di perusahaan ini. Aku tidak akan lagi dikenal sebagai sekretaris yang memiliki time management yang baik, aku bukan lagi sekretaris yang kritis, aku bukan lagi sekretaris yang lancar berbahasa Inggris, atau aku bukan lagi sekretaris yang memiliki sistem filing yang rapi. Mulai sekarang aku hanya akan dikenal sebagai sekretaris yang berpacaran dengan bosnya. Bahkan mungkin beberapa orang mulai berpikir bahwa aku adalah sekretaris yang bisa diajak tidur oleh bosnya.

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang