28

1.3K 163 1
                                    

Jangan terlalu naif.
Tidak ada pangeran dan putri yang bersama
dan bahagia selamanya setelah membunuh naga.
Mereka akan menemui makhluk-makhluk mengerikan lainnya
yang seringkali bersembunyi dalam kebaikan semu.



Hari Sabtu dan Minggu kemarin kuhabiskan dengan membaca novel-novel koleksiku. Memang cara itu berhasil mengalihkan pikiranku dari lukisan terkutuk itu, tapi aku malah tidak bisa tidur. Tadi saja aku baru bisa tidur setelah sholat subuh. Akibatnya aku bangun kesiangan dan hampir saja terlambat pagi ini.

Aku melihat sepatu flat-ku yang tampak kotor karena tadi terinjak pengendara motor lain. Pengendara itu pasti panik karena harus menghindariku yang mengerem mendadak. Mau bagaimana lagi? Ada motor di depanku yang tiba-tiba mesinnya mati. Aku terpaksa menghentikan motorku saat itu juga kalau tidak ingin menabraknya. Sayangnya pengendara motor yang ada di sebelahku panik dan tidak sengaja menginjak kakiku dengan kuat.

Jari-jari kakiku masih nyeri gara-gara terinjak tadi. Aku berjalan ke meja resepsionis dengan menyeret sedikit kaki kiriku. Aku duduk di kursi Mbak Maya yang masih kosong lalu melepas sepatuku. Aku mengelus-elus pelan jari-jari kakiku. Tidak ada luka dan tidak lebam, tapi kenapa rasanya nyeri sekali?

Aku melirik jam tanganku. Pukul 08.05 WIB. Kemana ya Mbak Maya? Biasanya dia datang lebih awal dariku. Aku mengeluarkan ponselku dan mengirim pesan padanya melalui WhatsApp. Setelah menunggu sebentar, Mbak Maya membalas pesanku. Dia bilang tidak akan masuk kerja hari ini karena anak bungsunya demam. Setelah membalas pesannya, aku segera berdiri untuk menuju ruang kerjaku.

Sial! Jalanku kalah cepat dengan Bu Farah dan Mbak Atin yang menuruni tangga menuju meja resepsionis.

"Maya di mana, Yu?" tanya Bu Farah.

"Mbak Maya nggak masuk hari ini, Bu. Anaknya sakit."

"Oalah, kasihan sekali," kata Bu Farah dengan mimik wajah yang tidak mencerminkan rasa prihatin sama sekali. "Yu, bisa bantu Atin nggak? Dia butuh batu baterai untuk kalkulatornya."

"Ada di laci sebelah kiri, Bu. Tapi yang punya kuncinya cuma Mbak Maya dan Mas Damar," jelasku.

"Kamu nggak punya kuncinya, Yu?"

Aku menggeleng cepat. Kenapa sih dia ini? Tadi kan sudah kubilang yang punya kunci laci itu cuma Mbak Maya dan Damar.

"Masak sih?" pancingnya lagi.

"Buat apa saya punya kunci laci itu, Bu?" balasku tidak sabar.

"Kalau kunci rumah Jason punya, kan?" sindirnya dengan senyum sinis. Mbak Atin terlihat kaget mendengar sindiran itu.

"Apa maksudnya itu?" tanyaku menahan rasa marah.

"Sudah bukan rahasia kalau kamu kencan sama Jason. Ngaku saja lah, Yu."

Mulutnya berbisa sekali! Bisa-bisanya dia bicara ngawur seperti itu! Sabar, Yu. Jangan meledak di sini. Sabar!

"Kasihan Anita lho. Gara-gara kamu, dia putus sama Jason. Pasti kamu juga yang minta dia dimutasi ke gudang. Iya kan?" lanjutnya dengan nada sinis. Mbak Atin tampak tidak nyaman berada di sebelahnya.

"Bu Farah," kataku dengan senyum yang kupaksakan. "Kalau Ibu merasa sakit hati dengan nasib Ibu di perusahaan ini, tolong ingat baik-baik, itu bukan salah saya. Saya tidak pernah melakukan apa pun untuk menyakiti Ibu selama ini. Jadi jangan menyebarkan gosip murahan tentang saya."

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang