37

1.3K 195 5
                                    

Gradasi kesenangan dan keresahan
membalut benak menenggelamkan tanya.
Buat apa bertanya?
Toh tak semua yang terjadi harus dipahami.



Pagi ini Jason memintaku mencari arsip produksi dari dua tahun yang lalu. Dia memintaku mencari arsip purba dari bagian produksi, padahal gara-gara kasus Pak Herman, staf administrasi produksi juga dipecat. Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku terpaksa ke ruang arsip untuk menemukan berkas yang dia butuhkan. Kenapa sih dia tidak minta tolong Damar saja? Toh laptop yang dulu dipakai Pak Herman sekarang disimpan HR.

Aku berjongkok di pojok ruang arsip sambil membaca kode-kode pada tiap odner yang tersusun rapi di rak yang paling bawah. Tubuhku tidak terlihat dari pintu masuk karena tertutup beberapa rak kaca tinggi yang berisi odner-odner hitam lainnya. Di ruang ini, setiap bagian memiliki raknya masing-masing. Untuk menjaga kerahasiaannya, semua rak terkunci dan kuncinya dipegang oleh tiap kepala bagian.

"Hei, tumben telepon di jam kerja. Bukannya kamu lagi interview?" kata sebuah suara di dekatku. Aku berdiri perlahan dan mengintip dari celah-celah odner untuk melihat siapa yang berbicara. Ternyata Anita. Dia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Ada senyum yang menghiasi wajahnya.

"Nanti sore? Memangnya mau ke mana?" tanyanya sambil memainkan ujung-ujung rambutnya. Bibirnya masih menyunggingkan senyum ketika mendengar jawaban dari lawan bicaranya. "Mau bareng dari kantor? Yakin? Kalau ada yang lihat bagaimana?" tanyanya lagi.

Kenapa dia menjawab telepon di ruang arsip? Apa jangan-jangan dia memang sengaja sembunyi untuk menerima telepon itu?

"Ya sudah, nanti kita keluar agak telat saja. Jangan pas bel pulang, nanti banyak yang lihat," katanya sebelum menutup telepon dengan senyum lebar di wajahnya. Anita segera keluar dari ruang arsip tanpa tahu dari tadi aku mendengarkan pembicaraannya.

Siapa sebenarnya yang dia telepon? Siapa yang di kantor ini sedang melakukan interview? Pasti Jason! Tadi dia pamit ke ruang meeting untuk mewawancarai kandidat Supervisor Produksi.

Ternyata Jason dan Anita masih berhubungan. Dasar buaya darat Swedia! Rupanya dia repot-repot mengajakku makan siang beberapa hari yang lalu hanya untuk menjadikanku salah satu koleksinya. Lihat saja, jangan panggil aku Rahayu kalau aku tidak bisa memergokinya dengan Anita nanti sore!

Seolah-olah hubungannya dengan Anita yang sembunyi-sembunyi belum cukup untuk menyiksaku, hari ini Jason membuatku sibuk setengah mati. Baru saja aku menyerahkan berkas yang dimintanya tadi padanya, dia langsung memintaku merapikan barang-barang pribadi Mr. Nilsson yang masih ada di ruangannya. Aku berdiri, jongkok, berdiri, lalu jongkok lagi untuk memindahkan satu per satu barang dari rak ke dalam container plastik besar yang ada di lantai. Selama aku menata barang-barang itu, Jason hanya duduk di sofa dengan santai sambil membaca arsip yang tadi kubawakan. Sesekali dia menyesap kopinya. Tentu saja, kopi itu juga aku yang membuatnya.

Tidak selesai sampai di situ, setelah aku kembali dari makan siang di kantin, Jason memintaku ke toko bunga untuk memesan buket bunga. Dia tidak mengijinkanku memesan buket itu lewat WhatsApp seperti biasanya. Dia memintaku berangkat ke toko bunga untuk memilih langsung bunga-bunga yang akan dirangkai. Harus dominan lily warna pink, pesannya. Ketika aku tanya untuk siapa, dia bilang untuk supplier. Sejak kapan ada supplier Nilsson Home yang perlu diberi buket bunga lily? Dia pikir aku tidak tahu kalau bunga itu untuk Anita. Dasar laki-laki tidak tahu diri!

Sampai di toko bunga, aku disambut florist cantik berbadan mungil yang ramah. Dia dengan sabar mendampingiku memilih bermacam-macam bunga segar yang berjajar dengan indah di dalam ember-ember putih.

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang