18

1.4K 172 0
                                    

Ada kisah di masa lalu dimana kamu dan aku
terpaksa berpapasan karena takdir.
Pertemuan yang menurutku biasa saja itu
nyatanya malah mengikat hatimu.



"Wah, yang ini bagus!" seru Bu Rina mengambil salah satu dress batik warna kuning gading yang ada di display. Dress dengan lengan lonceng yang lebar dan taburan mutiara pada bagian neckline itu memang cantik. 

Mungkin kalau kupakai, panjang dress itu akan jatuh tepat di atas lututku. Aku cuma membayangkannya saja karena aku tidak mungkin membelinya. Tujuh ratus ribu rupiah tertulis pada label harganya. Bukannya aku tidak sanggup membelinya, hanya saja aku selalu ingat pesan mendiang ibuku untuk tidak bersikap boros. Apalagi hanya untuk membeli baju yang nantinya akan menjadi barang usang tak bernilai.

"Iya, Bu. Ini cantik sekali," kataku menimpalinya.

"Kalau begitu, saya mau yang ini dua. Satu M dan satu L, Mbak," kata Bu Rina pada pramuniaga toko yang sejak tadi mengikuti kami berkeliling.

Luar biasa ibu Jason! Sebelumnya sudah ada sekitar empat dress dan lima potong atasan yang diserahkannya kepada pramuniaga itu. Kalau dihitung-hitung, belanjaannya sudah tembus sekitar tujuh juta rupiah dalam waktu sekitar satu jam saja.

"Ini ukuran L dan M, Bu" kata pramuniaga tadi menyerahkan dua dress kuning gading tadi.

"Yang ini langsung bungkus saja, Mbak," Bu Rina menyerahkan kembali salah satu dress tadi ke pramuniaga lalu menoleh kepadaku. "Ibu mau coba dress yang ini. Titip tas dulu ya, nduk," kata Bu Rina menyerahkan Tory Burch-nya padaku lalu dengan riang menuju kamar pas.

Aku memutuskan duduk di sofa yang ada di sebelah kamar pas sambil mengamati penataan display pakaian dan furniture di Rianty Batik. Terakhir kali aku ke sini sekitar setahun yang lalu dengan Mbak Maya. Tidak ada yang berubah pada penataan display di toko ini, kecuali model pakaian yang dipajang tentunya. Toko yang bernuansa krem dengan pencahayaan ambient bernuansa kuning ini selalu menjual pakaian batik dengan desain yang chic dan modern. Suasana toko yang tidak pernah berjubel dengan pengunjung justru menjadikannya tempat favoritku untuk membeli batik.

"Sudah capek, Yu?" tanya Jason yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahku.

Lama-lama aku bisa kena serangan jantung ringan kalau dia terus-terusan muncul di dekatku tanpa suara. "Biasa saja, Mister," jawabku pendek.

"Ibu kalau belanja baju nggak lama kok. Paling lama dua jam."

"Kenapa ya beliau minta saya menemaninya belanja?"

"Karena ayah saya lebih suka bersantai di hotel daripada berdesak-desakkan di Malioboro."

"But you're here."

"Saya nggak, mmm, apa ya sebutannya? Pokoknya kalau disuruh pilih batik, saya tasteless. Apa itu bahasa Indonesianya ya?"

"Ya, ya saya paham maksud Mister."

"Sudah nggak di kantor kok masih mistar mister saja, Yu," kata Bu Rina keluar dari kamar pas. "Panggil saja Jason atau Je. Ibu rasa Jason nggak akan keberatan kok. Iya kan, Je?"

Jason cuma nyengir lebar menanggapi ibunya, "Mungkin saya sudah kelihatan setua Karl ya, Yu? Makanya pantas dipanggil mister."

Aku belingsatan ditanya begitu. Ini aku harus bagaimana? Mana mungkin aku memanggil atasanku tanpa embel-embel mister seperti biasanya? Kan tidak sopan kalau memanggilnya Jason saja, walaupun itu sudah sering kulakukan ketika membicarakannya dengan Mbak Maya dan Damar. Eh, jangan-jangan dia pernah dengar waktu aku menyebut namanya tanpa mister?

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang